LOGISTIKNEWS.ID – Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) menyoroti bentuk privilage yang diberikan Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan kepada AEO dan MITA atas pengecualian pemberitahuan impor (PI) dan Laporan Surveyor (LS) terhadap produk tekstil dan turunannya (TPT).
Wakil Ketua Umum BPP Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) bidang Transportasi, Kepelabuhanan dan Kepabeanan Erwin Taufan, mengatakan pasalnya privilage atau keistimewaan yang diberikan kepada importir produsen atau pemegang Angka Pengenal Importir Produsen (API-P) itu justru berpotensi mengganggu kelangsungan industri dalam negeri.
“Kalau ada privilage seperti itu maka ketentuan aturan larangan pembatasan (lartas) importasi oleh Bea dan Cukai tidak diperlukan lagi. Padahal ketentuan lartas untuk mengendalikan jumlah barang yang masuk maupun yang keluar Indonesia demi menjaga industri dalam negeri,” ujar Taufan, pada Senin (18/12/2023).
Dia mengatakan, privilage importasi komoditi tekstil oleh pemegang API-P itu diatur melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No: 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor
Dalam beleid itu, kata dia, terdapat pengecualian atau persetujuan impor (PI) dan Laporan Surveyor (LS) impor tekstil dan produk tekstil (TPT) yang dilakukan oleh importir API-P yang telah mendapatkan surat keputusan dari Kementerian yang menyelenggarakan urusan Pemerintahan dibidang Keuangan tentang Pengakuan sebagai Authorized Economic Operator (AEO) dan atau penetapan sebagai mitra utama (MITA) Kepabeanan dengan status aktif.
“Padahal, kalau importir yang kantongi status mitra prioritas (MITA) dari Bea dan Cukai idealnya hanya boleh diberikan prioritas layanan menyangkut fasilitas yang dipunya oleh Ditjen Bea dan Cukai Kemenkeu saja. Jangan sampai lintas Kementerian juga memberikan prioritas yang sama, sehingga tumpang tindih aturannya,” ucap Taufan.
Dia mengatakan, oleh karenanya privilage terhadap importir produsen prihal pengecualian pemberitahuan impor dan Laporan Surveyor terhadap produk TPT itu mesti dikaji ulang demi keberlangsungan industri dalam negeri.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa nilai impor Indonesia November 2023 mencapai US$19,59 miliar, naik 4,89 persen dibandingkan Oktober 2023 atau naik 3,29 persen dibandingkan November 2022.
Impor migas November 2023 senilai US$3,49 miliar, naik 8,79 persen dibandingkan Oktober 2023 dan naik 24,41 persen dibandingkan November 2022.
Adapun impor nonmigas November 2023 senilai US$16,10 miliar, naik 4,08 persen dibandingkan Oktober 2023 dan turun 0,37 persen dibandingkan November 2022.
Peningkatan impor golongan barang nonmigas terbesar November 2023 dibandingkan Oktober 2023 adalah besi dan baja senilai US$138,7 juta (16,34 persen). Sementara itu, penurunan terbesar adalah logam mulia dan perhiasan/ permata US$162,1 juta (54,11 persen).
BPS melaporkan terdapat tiga negara pemasok barang impor nonmigas terbesar selama Januari–November 2023, yakni; Tiongkok US$56,74 miliar (33,31 persen), Jepang US$15,20 miliar (8,92 persen), dan Thailand US$9,36 miliar (5,50 persen).
Sedangkan impor nonmigas dari ASEAN US$28,43 miliar (16,69 persen) dan Uni Eropa US$12,98 miliar (7,62 persen).
Adapun menurut golongan penggunaan barang, nilai impor Januari–November 2023 terhadap periode yang sama tahun sebelumnya terjadi peningkatan pada golongan barang modal senilai US$3.188,7 juta (9,74 persen) dan barang konsumsi US$1.471,0 juta (8,16 persen). Sementara itu, impor bahan baku/penolong turun US$19.464,7 juta (11,67 persen).[redaksi@logistiknews.id]