LOGISTIKNEWS.ID – Masih banyaknya kontainer longstay di sejumlah fasilitas terminal peti kemas di kawasan pabean Pelabuhan Tanjung Priok, perlu mendapat perhatian serius. Pasalnya keberadaan kontainer-kontainer ‘tak bertuan’ itu sangat mengganggu kondisi yard occupancy ratio (YOR) di lapangan lini 1 terminal.
Berdasarkan data yang dihimpun Logistiknews.id, pada Senin (19/5/2025), bahwa hingga 18 Mei 2025 pukul 14.00 Wib masih ada sebanyak 9.097 bok kontainer longstay di Pelabuhan Tanjung Priok. Jumlah itu justru bertambah sekitar 15% ketimbang data per 16 Mei 2025 yang hanya 7.893 bok.
Data kontainer longstay per 18 Mei 2025 itu tersebar di Jakarta International Container Terminal (JICT) 4.075 bok, Terminal Petikemas (TPK) Koja 114 bok, IPC TPK Internasional (OJA) 245 bok, IPC TPK Internasional (TSJ) 286 bok, IPC TPK Domestik (MSA) 63 bok, IPC TPK Domestik (Temas) 7 bok, IPC TPK Domestik (009) 495 bok, IPC TPK Domestik (Adipurusa) 969 bok, IPC TPK Domestik (DHU) 431 bok.
Selain itu, kontainer longstay di New Priok Container Terminal One (NPCT-1) sebanyak 1.510 bok, dan Terminal Mustika Alam Lestari/MAL 902 bok.
Ketua Umum Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Jakarta, Adil Karim mendesak kontainer longstay yang sudah tidak diurus pemilik barangnya harus direlokasi ke Tempat Penimbunan Pabean (TPP) dan bisa dikuasai oleh negara untuk kemudian dilelang atau dimusnahkan.
“Jadi bicara longstay itukan petikemas yang sudah cukup lama atau tahunan tapi memang harus dikeluarkan dari pelabuhan karena sangat mengganggu yard occupancy ratio atau YOR terminal dan produktivitas pelabuhan,” ujar Adil Karim.
Menurut Adil, terhadap hal ini harus dibicarakan ke pihak Bea Cukai di pelabuhan setempat lantaran masih ada hak-hak negara yang belum selesai dan harus di selesaikan secara komprehensif.
KemudianĀ harus dilihat juga komoditinya apa. Apakah masih bagus barangnya atau sudah menjadi sampah dan penyelesaiannya bisa dengan lelang atau dimusnahkan dan duduk bareng untuk dicarikan solusinya baik lokasinya maupun biaya yang akan dikeluarkan untuk pembiayaan perpindahannya ataupun pemusnahannya.
Kepentingan Pelayaran
Disisi lain, perusahaan pelayaran sangat berkepentingan agar kontainer yang merupakan bagian dari alat angkut transportasi laut bisa segera dimanfaatkan lagi oleh perusahaan pelayaran pemiliknya.
“Pelayaran mendesak soal kontainer longstay itu dicarikan solusinya lintas multi sektor untuk efisiensi pemindahan dan pelepasan kontainer bermasalah itu secara massal. Ini supaya kontainer-kontainer itu bisa digunakan lagi sebagai bagian alat angkut operasional pelayaran,” ujar Sekretaris Umum DPC Indonesia National Shipowners Association (INSA) Jaya, M.Erwin M Yahya Zubir.
Dia menegaskan, fenomena kontainer longstay bukanlah hal baru jika tidak dijinakan maka akan menjadi Bom Waktu bagi Logistik Nasional.
Apalagi, imbuhnya, namun dalam beberapa tahun terakhir, jumlahnya terus meningkat seiring dengan kompleksitas administrasi, terbatasnya infrastruktur pendukung, serta minimnya integrasi antarlembaga.
“Dalam banyak kasus, kontainer bermasalah atau tak bertuan itu tidak lagi sekadar barang tak terurus, melainkan menjadi beban struktural bagi kelancaran operasional pelabuhan,” ucapnya.
Berdasarkan identifikasi oleh INSA Jaya, persoalan kontainer longstay antara lain, Keterbatasan kapasitas penumpukan baik diĀ Terminal maupun Beacukai yang tidak seimbang dengan pertumbuhan impor; Proses perizinan dan clearance yang masih terdapat kendala berkaitan dengan regulasi; dan Barang Tidak Dikuasai (BTD) yang tak kunjung dilelang atau dimusnahkan.
Selain itu, barang rusak, kadaluarsa, atau berbahaya yang memerlukan penanganan khusus lintas lembaga. Serta, Tanggung jawab biaya yang tidak jelas, membuat banyak instansi ragu bertindak karena berkaitan dengan celah hukum dari barang.
“Ketika kontainer ini terus tertahan, dampaknya menyebar luas : bottleneck distribusi barang, naiknya biaya logistik, keterlambatan distribusi, hingga terganggunya jadwal kapal dan pengiriman barang ke konsumen akhir,” papar Erwin.[am]













