LOGISTIKNEWS.ID- Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia (APBMI) sebagai mitra pemerintah dalam penyelenggaraan jasa kepelabuhanan mendukung penuh upaya Kementerian Perhubungan untuk menciptakan sistem bongkar muat yang efisien dan berdaya saing.
Namun, untuk mencapai itu, perlu dilakukan pembenahan regulasi dan pelurusan peran kelembagaan di pelabuhan.
“Kami berharap Menteri Perhubungan dapat segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap KM 35 Tahun 2007 dan mengeluarkan kebijakan baru yang berpihak pada kepastian hukum, efisiensi, dan profesionalisme dunia usaha,” ujar Ketua Umum DPP APBMI Juswandi Kristanto melalui keterangan resminya pada Jumat (7/11/2025).
Karena itu, imbuhnya, APBMI berharap Menteri Perhubungan (Menhub) dapat segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap Keputusan Menteri Perhubungan (KM) 35 Tahun 2007 dan mengeluarkan kebijakan baru yang berpihak pada kepastian hukum, efisiensi, dan profesionalisme dunia usaha.
Juswandi menegaskan, pasalnya dalam pelaksanaan kegiatan bongkar muat barang di pelabuhan, saat ini masih terjadi tumpang tindih kewenangan antara Perusahaan Bongkar Muat (PBM) dan Koperasi Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM).
“Kondisi ini menimbulkan berbagai persoalan teknis dan administratif yang berpotensi menghambat efisiensi pelayanan pelabuhan serta menciptakan kesalah pahaman dalam pelaksanaan fungsi dan tanggung jawab masing-masing pihak,” ucapnya.
Dia mengungkapkan, salah satu sumber utama persoalan ini adalah keberlakuan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 35 Tahun 2007 tentang Pedoman dan Tata Cara Kegiatan Bongkar Muat Barang dari dan ke Kapal di Pelabuhan.
“Regulasi tersebut juga sudah tidak relevan dengan perkembangan struktur industri pelabuhan saat ini dan menimbulkan multi tafsir terhadap posisi hukum antara PBM dan koperasi TKBM.,” jelas Juswandi.
Permasalahan
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan dan Permenhub Nomor 59 Tahun 2021, kegiatan bongkar muat barang di pelabuhan merupakan kegiatan usaha jasa kepelabuhanan yang wajib dilakukan oleh Perusahaan Bongkar Muat (PBM) yang memiliki izin sah dari Kementerian Perhubungan.
Namun, dalam praktik di lapangan, fungsi dan kewenangan PBM kerap tereduksi akibat dominasi dan intervensi koperasi TKBM yang seharusnya hanya berperan sebagai penyedia tenaga kerja.
APBMI juga menegaskan bahwa Koperasi tenaga kerja bongkar muat (TKBM) bukanlah entitas usaha pelabuhan sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan. Peran TKBM hanya sebagai lembaga yang menyalurkan tenaga kerja bongkar muat yang bekerja atas perjanjian kerja dengan PBM, bukan sebagai pelaksana kegiatan usaha.
“Namun ironisnya, di banyak pelabuhan, TKBM justru memposisikan diri sebagai pelaku utama kegiatan, yang mengabaikan kewenangan PBM,” kata Juswandi.
Untuk itulah, ujarnya,KM 35/2007 sudah tidak sesuai dengan semangat deregulasi dan efisiensi pelabuhan. Sebab, dalam konteks transformasi pelabuhan menuju efisiensi dan daya saing logistik nasional, banyak ketentuan dalam KM 35/2007 justru menghambat kebebasan berusaha PBM dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
“Kondisi ini juga bertentangan dengan arah kebijakan pemerintah untuk menciptakan iklim investasi dan bisnis jasa kepelabuhanan yang sehat dan kompetitif,” tuturnya.
Usulan APBMI
Guna menegaskan kembali kedudukan PBM sebagai pelaku utama kegiatan bongkar muat, dimana PBM adalah pihak yang bertanggung jawab penuh secara hukum, administrasi, dan operasional terhadap kegiatan bongkar muat di pelabuhan.
“Oleh karena itu, semua koordinasi dan pelaksanaan pekerjaan dari dan ke kapal harus berada di bawah kendali PBM,” tegas Juswandi.
Disisi lain, tegasnya, bahwa Koperasi TKBM hanya berfungsi sebagai penyedia tenaga kerja. Koperasi TKBM tidak memiliki kewenangan mengelola, mengatur, atau memonopoli kegiatan bongkar muat.
“Tugasnya (Koperasi TKBM) sebatas menyediakan tenaga kerja yang kompeten dan terlatih kepada PBM sesuai kebutuhan operasional,” jelas Juswandi.
Revisi
APBMI mendorong agar Kementerian Perhubungan melakukan revisi menyeluruh terhadap KM 35/2007 agar sejalan dengan regulasi yang lebih tinggi (PP 61/2009, Permenhub 152/2016, dan prinsip persaingan usaha yang sehat).
Dengan revisi beleid itu, maka pembagian kewenangan yang jelas antara PBM dan koperasi TKBM. Selain itu, bisa menegakkan prinsip efisiensi, keselamatan, dan kepastian hukum. Serta memberikan perlindungan terhadap hak dan kewajiban tenaga kerja tanpa mengorbankan iklim usaha PBM.
APBMI menilai setiap bentuk intervensi atau praktik yang mengabaikan fungsi PBM adalah pelanggaran terhadap hukum kepelabuhanan dan asas keadilan dalam dunia usaha. Pemerintah perlu mengambil langkah korektif agar pelabuhan kembali dikelola secara profesional, transparan, dan sesuai regulasi.
“Kami juga menolak segala bentuk penyimpangan atau monopoli di pelabuhan,” ujar Juswandi.[am]













