LOGISTIKNEWS.ID- Rencana pemindahan pintu masuk importasi untuk sejumlah komoditi industri tertentu ke pelabuhan yang berada di kawasan timur Indonesia (KTI), menuai beragam reaksi dari pelaku usaha di pelabuhan Tanjung Priok Jakarta.
Tiga titik yang ditetapkan untuk pelabuhan impor tersebut yakni Pelabuhan Sorong di Papua Barat Daya, Pelabuhan Bitung di Sulawesi Utara dan Pelabuhan Kupang di Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan komoditas yang jadi prioritas antara lain elektronik, tekstil dan produk tekstil (TPT), pakaian jadi, alas kaki, kosmetik, keramik, katup, dan obat tradisional.
Disisi lain, untuk meningkatkan rata-rata utilisasi pelabuhan kawasan timur Indonesia yang saat ini masih di bawah 50%, Pemerintah RI terus melakukan perbaikan dengan meningkatkan infrastruktur pelabuhan yang bersumber dari optimalisasi volume traffic atau subsidi bagi pelabuhan yang minim traffic (non-commercially viable) di Kawasan Timur.
Selain itu juga didorong inisiatif kebijakan berupa peningkatan logistik berbasis komoditas (commodity-based approach) untuk menciptakan sentra industri baru unggulan di Indonesia Timur serta penggunaan transportasi multimoda dan pengembangan kawasan logistik terintegrasi sebagai hub and spoke untuk meningkatkan kinerja dan efisiensi biaya logistik.
Menurut Pengurus Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo), Dharmawan Witanto atau yang akrab dipanggil Akong, jika program pemindahan pintu masuk importasi ke pelabuhan di KTI itu terealisasi maka konsekuensinya bisa menggerus volume barang impor atau throughput yang selama ini ditangani pelabuhan Tanjung Priok.
“Ya, throughput pelabuhan Tanjung Priok kemungkinan bisa tergerus sekitar 20%-an, karena nantinya impor sejumlah komoditi itu tak lagi masuk via Priok,” ujarnya kepada wartawan pada Rabu (14/11/2024).
Kendati begitu, dia mengemukakan pemindahan pintu masuk importasi ke KTU tidak secara langsung memengaruhi kinerja angkutan barang atau trucking di Priok.
Sebab, armada truk tetap akan melayani angkutan barangnya meskipun pada akhirnya kargo impor itu mesti diantarpulaukan lagi dari pelabuhan-pelabuhan di KTI ke Jakarta.

Hal senada disampaikan Haryadi Djaya (Pengurus DPP Aptrindo). “Pasar angkutan truk tidak akan berpengaruh dengan adanya pemindahan pintu masuk impor. Namun yang menjadi sorotan adalah apakah cost logistiknya lebih murah atau justru menjado lebih mahal,” tanya Haryadi.
Sebelumnya, Ketua Umum BPP Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Capt Subandi menyatakan, pemindahan pelabuhan impor ke wilayah Indonesia timur akan membuat produk tertentu semakin mahal dijangkau masyarakat.
Pasalnya, kecil kemungkinan kapal-kapal ocean going akan direct (pengapalan langsung) ke pelabuhan Indonesia timur mengingat infrastruktur pelabuhannya masih belum mumpuni sehingga kapal asing tidak akan mau direct ke sana.
“Selain biaya logistik menjadi melambung, masyarakat di pulau Jawa dan Sumatera akan mengalami kesulitan mendapatkan produk-produk tersebut kecuali dengan harga yang lebih mahal dari biasanya jika pintu masuk pelabuhan impor dipindahkan ke kawasan timur,” ujar Subandi, kepada Logistiknews.id, beberapa waktu lalu.
Dia menegaskan, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) sebagai kementrian yang mengurusi perindustrian harusnya mendorong tumbuhnya industri-industri dengan melakukan pembinaan pada industri nasional bukan justru mengatur pintu masuk importasi.
“Sebab, jangan sampai nanti akan ada industri atau pabrik di Pulau Jawa dan Sumatra yang mengalami nasib serupa dipailitkan seperti Sritex akibat banjir barang-barang ilegal lantaran demand-nya tinggi tetapi supply-nya terhalang atau mahalnya bahan baku yang di butuhkan untuk industri padat karya itu,” ucap Capt Subandi.
Oleh karena itu, Kemenperin harus terukur kinerjanya dengan me-mapping ada berapa banyak industri baru, baik kecil maupun besar. Kemudian, ada berapa banyak industri yang tutup akibat kesulitan berbagai hal.
“Lalu, bisakah Kemenperin membina sehingga industri tersebut tidak colaps ?. Dan, ada berapa banyak industri kecil naik kelas menjadi industri menengah, dan ada berapa banyak industri menengah yang naik kelas menjadi industri besar, dan seterusnya,” papar Subandi.

Ketum GINSI menyarankan, ketimbang memindahkan pintu masuk impor sebaiknya perlu ada pembagian quota untuk aktivitas impor yang melalui Indonesia bagian timur dan Indonesia bagian barat.
“Sebab, apabila demand-nya tinggi sementara supply-nya rendah bisa mendorong terjadinya praktik penyelundupan. Apalagi, kita juga faham kok, kalau petugas Kepabeanan dan Cukai juga bukan malaikat, masih saja ada oknumnya yang nakal,” ujar Subandi.
Komprehensif
Dewan Pemakai Jasa Angkutan Laut Indonesia (Depalindo) juga mempertanyakan rencana Pemerintah yang akan memindahkan pintu masuk pelabuhan impor atau entry point untuk sejumlah komoditas industri tertentu ke wilayah Indonesia timur.
Menurut Ketua Umum Depalindo, Toto Dirgantoro, rencana tersebut belum tentu efektif dalam menekan praktik penyelundupan sepanjang pengawasan instansi terkait dalam urusan importasi tidak tegas dan memakai sistem IT yang mumpuni.
“Inti masalahnya bukan pada dimana pintu masuknya impor. Jika sekarang bagaimana sistem pengawasannya dan penegakkan aturannya yang setegas-tegasnya. Sebab kalau pengawasanyanya lemah, mau dipindahkan dimanapun tetap saja ada potensi praktik penyelelundupan itu bisa lolos. Kalau sudah seperti itu, enggak efektif,” ujar Toto kepada Logistiknews.id, baru-baru ini.
Depalindo, imbuhnya, sangat memahami rencana pemindahan pintu masuk importasi tersebut yakni semangatnya untuk menekan penyelundupan atas masuknya barang-barang murah untuk melindungi industri dalam nasional.
Diapun mencontohkan, salah satu permasalahan yang dialami Perusahaan tekstil PT Sri Rejeki Isman (SRIL) atau Sritex yang dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri Semarang beberapa waktu lalu, yang salah satu penyebabnya lantaran tidak bisa bersaing dengan gempuran atau banjirnya produk impor di industri padat karya seperti tekstil.
Contoh lainnya, ketika importasi komoditi buah, tidak lagi di perkenankan masuk melalui Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta namun melalui Tanjung Perak Surabaya sejak beberapa waktu lalu.

Fenomena ini, imbuhnya, juga justru membuat cost logistik melonjak, lantaran dari Surabaya diantarpulaukan lagi ke Jakarta. Sementara disisi lain, Jakarta merupakan salah satu konsumen terbesar buah-buahan.
“Jadi ini soal pengawasan yang mesti tegas, termasuk pengawasannya yang diluar pelabuhan, termasuk aktivitas impor yang diantarpulaukan. Apalagi, sudah ada aturan larangan pembatasan (lartas) soal importasi,” ucapnya.
Depalindo mempertanyakan, apakah rencana pemindahan pintu masuk impor ke kawasan timur Indonesia itu sudah melalui pengkajian yang komprehensif.
“Kajiannya bagaimana. Ada gak atau berapa banyak kapal yang kesana dari luar untuk mau melayani impor tersebut. Lalu bagaimana dengan fasilitas sarana dan prasarana pelabuhannya ?. Juga dukungan jaringan distribusi atau multimodanya termasuk depo penopangnya seperti apa ?, tanya Toto.
Untuk itu, Pemerintah harus berhati-hati menetapkan pintu masuk untuk importasi tersebut. “Sekali lagi, apakah sudah di kaji?, tegasnya.
Karenanya, Depalindo justru mendesak agar pengawasan terhadap keluar masuk barang (ekspor maupun impor) lebih efektif melalui sistem IT yang mumpuni lewat alat pemeriksaan seperti X-Ray atau Hi-Co Scan di pelabuhan.[redaksi@logistiknews.id]













