LOGISTIKNEWS.ID- Pemilik barang impor mengeluhkan biaya tinggi logistik yang terjadi selama masa pembatasan operasional truk pada periode angkutan Natal 2025 dan Tahun Baru 2026 (Nataru), lantaran sejumlah perusahaan trucking mengenakan biaya tambahan atau tuslah.
Ketua Umum BPP Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Capt Subandi, mengemukakan kebijakan sejumlah instansi yang membatasi operasional angkutan barang dan logistik selama Nataru tersebut, justru membuat biaya logistik melambung dan bertolak belakang dengan semangat Pemerintahan Prabowo-Gibran dalam menciptakan kelancaran dan efisiensi logistik nasional.
Sebagaimana diketahui bahwa selama periode Nataru kali ini, Pemerintah telah menerbitkan regulasi berupa pengaturan operasional angkutan barang.
Adapun jadwal dan ketentuannya, diatur dalam surat keputusan bersama (SKB) yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Perhubungan Darat, Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Direktur Jenderal Bina Marga, dan Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
“Pembatasan angkutan barang selama Nataru itu hanya menambah biaya logistik melambung dan di manfaatkan banyak pihak. Bahkan ada tuslah yang mengatasnamakan biaya kawalan Rp 750 ribu hingga Rp 1 juta,” ujar Capt Subandi, kepada Logistikmews.id pada Selasa (23/12/2025) sambil menunjukkan sejumlah bukti pemberlakukan tuslah yang dikenakan oleh perusahaan truk selama masa Nataru.
Dia menegaskan, fenomena angkutan barang selama Nataru yang terus berulang seperti ini selain mengerek biaya logistik tinggi justru menurunkan daya saing komoditi nasional di pasar domestik maupun internasional. Bahkan, ujung-ujungnya akan melemahkan daya beli masyarakat dan memengaruhi perekonomian nasional.
“Bagaimana biaya logistik mau di tekan kalau para pembantu Presiden justru membuat kebijakan yang memberatkan dan menambah biaya logistik semakin tinggi ?,” tanya Ketum GINSI.
Tarif Pasar Gelap
Saat dikonfirmasi terkait pengenaan tuslah truk selama Nataru tersebut, Ketua Umum DPP Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Gemilang Tarigan mengatakan, akibat kebijakan pembatasan operasional truk selama Nataru oleh Pemerintah, menyebabkan tarif angkut trucking tidak bisa lagi dikendalikan.
“Ada tuslah, biaya kawalan dan sudah macam-macamlah istilahnya. Ini karena pergerakan Truk dibatasi selama Nataru dan banyak di setop di jalan dengan adanya pembatasan itu. Selain itu karena waktu tempuh atau truk round time (TRT)-nya juga menjadi lebih lama akibat macet dan lain-lain. Disisi lain, banyak truk yang memilih gak operasional tidak kirim barang selama Nataru akibat adanya aturan pembatasan-pembatasan itu. Sehingga truk yang operasional sedikit tetapi barang yang hendak diangkut banyak, supply and demand gak berimbang, sehingga terjadilah tarif pasar gelap,” ujar Gemilang kepada Logistiknews.id, pada Selasa (23/12/2025).

Gemilang mengatakan, banyaknya truk tak operasional, dan munculnya tarif pasar truk yang tidak terkendali selama Nataru itu juga karena perusahaan truk tidak mau ambil resiko sehingga otomatis biaya logistik melonjak.
“Sebab, banyak perusahaan gak mau ambil resiko. Makakya, Pemerintah jangan buat aturan yang aneh-aneh. Sebab kalau gak jalan semuanya truk 100% pasti terjadi super horor macet pasca Nataru. Kondisi ini jadi pilihan sulit dan terpaksa diambil oleh perusahaan truk. Padahal kami selaku Asosiasi Truk sudah berkali-kali mengingatkan kepada Pemerintah jangan ada ada aturan pembatasan operasional truk, karena pasti berdampak pada layanan dan biaya logistik nasional. Tetapi ya mau gimana lagi ? Pemerintahnya seolah tak mau dengar masukan pelaku usaha truk,” ujar Gemilang.[am]













