LOGISTIKNEWS.ID – Supply Chain Indonesia (SCI) mencatat perkembangan positif sektor logistik Indonesia pada tahun 2022.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sektor transportasi (termasuk transportasi penumpang) dan pergudangan tumbuh secara konsisten dan tertinggi pada tiga kuartal pertama 2022, yaitu berturut-turut sebesar 15,79 persen, 21,27 persen, dan 25,81 persen.
Chairman SCI, Setijadi mengemukakan, indikasi pemulihan sektor logistik terjadi tidak hanya pada tingkat nasional tetapi juga pada tingkat regional dan global.
“Namun demikian, konsistensi pertumbuhan itu akan menghadapi tantangan pada tahun 2023 termasuk ancaman resesi,” ujarnya pada Selasa (3/1/2023).
SCI memprediksi kontribusi sektor itu terhadap produk domestik bruto (PDB) hingga akhir 2022 mencapai Rp 957,9 triliun setelah pada tahun sebelumnya sebesar Rp 719,6 triliun. SCI juga memprediksi kontribusi itu akan menembus angka Rp 1.090,2 triliun pada 2023.
Namun, imbuh Setijadi, dalam menyambut optimisme pertumbuhan sektor logistik 2023 terdapat beberapa permasalahan yang masih harus diperhatikan.
Pertama, regulasi logistik yang sampai saat ini belum efektif termasuk implementasi Perpres 26/2012 tentang Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional (Sislognas).
Kedua, biaya logistik yang masih tinggi dan perlu diupayakan peningkatan efisiensi pada proses transportasi karena biaya transportasi berkontribusi sekitar 70 persen dari biaya logistik total.
Ketiga, ancaman resesi dan ketidakpastian rantai pasok global. Diperlukan penguatan dan peningkatan efisiensi logistik dan rantai pasok terutama untuk mengurangi ketergantungan terhadap rantai pasok global.
Risk & Change Management
Setijadi mengungkapkan, selain dengan penguatan logistik dan rantai pasok domestik, para pelaku usaha perlu menerapkan risk management dan change management dalam menghadapi peluang dan ancaman pada 2023.
Risk management sangat dibutuhkan untuk menghadapi tidak hanya ketidakpastian (uncertainty) namun juga gangguan (disruption) dalam rantai pasok, yang terjadi pada aspek pasokan, permintaan, operasional, dan lingkungan.
“Antisipasi harus dilakukan atas ancaman ketidakpastian dan disrupsi itu sebagai dampak Covid-19, ancaman resesi global, dan dinamika geopolitik global seperti perang Rusia-Ukraina,” ucapnya.
Dia menambahkan, berbagai perubahan dan dinamika dalam rantai pasok global juga perlu dihadapi dengan penerapan change management dalam menciptakan perubahan pola bisnis dan proses operasional baru, serta penerapan teknologi baru.
“Karenanya, kolaborasi antar penyedia jasa logistik serta antara penyedia dan pengguna jasa logistik bisa menjadi salah satu strategi meminimalkan dan risk sharing serta mengelola perubahan, termasuk dengan pemanfaatan teknologi informasi,” ujar Setijadi.[am]