LOGISTIKNEWS.ID – Dewan Pemakai Jasa Angkutan Laut Indonesia (Depalindo) mengingatkan keberadaan tempat penimbunan sementara (TPS) overbrengen yang menjadi buffer peti kemas impor di pelabuhan Tanjung Priok, masih sangat diperlukan.
Apalagi jika aktivitas perdagangan kembali booming dan ekspor impor naik seperti pada masa-masa sebelum pandemi Covid-19, maka potensi kepadatan Yard Occupancy Ratio atau YOR terminal peti kemas atau lini 1 pelabuhan Tanjung Priok tidak bisa dihindari.
Hal tersebut ditegaskan Ketua Umum Depalindo Toto Dirgantoro, kepada logistiknews.id, pada Selasa (1/8//2023) menanggapi kekhawatiran terjadinya PHK massal di perusahaan TPS overbrengen di pelabuhan tersibuk di Indonesia itu lantaran produktivitasnya yang kini terus merosot.
“Depalindo juga menyampaikan keprihatinan mendalam jika PHK masaal TPS overbrengen itu benar-benar terjadi di Priok. Kami ingin menghimbau agar hal itu tidak perlu terjadi karena peran hadirnya fasilitas TPS overbrengen selama ini diibutuhkan saat kondisi pelabuhan padat agar terhindar dari stagnasi. Kalau kondisi saat ini dilapangan arus barang sudah lancar atau tidak sepadat sebelum-sebelumnya, fungsi TPS juga tetap bisa difungsikan ideal dengan kondisi eksisting saat ini,” ujar Toto.
Dia menyarankan agar Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok, Bea dan Cukai Tanjung Priok, Pelindo dan Pengelola Terminal Peti Kemas di Pelabuhan Tanjung Priok serta para pengelola TPS tersebut dapat duduk bersama mencari win-win solution sehingga kekhawatiran terjadinya PHK massal pada ratusan karyawan TPS overbrengen dapat dicegah.
Saat ini terdapat lima fasilitas terminal peti kemas di pelabuhan Tanjung Priok yakni, Jakarta International Container Terminal (JICT), TPK Koja, New Priok Container Terminal One (NPCT-1), Mustika Alam Lestari/NPH, dan Terminal 3-IPC TPK.
“Yang tak kalah penting kita juga jangan lupa sejarahnya, bahwa sebelum masa Covid-19, TPS overbrengen cukup berjasa dalam mengurai kemacetan arus barang di dalam pelabuhan. Makanya kelangsungan nasib TPS overbrengen ini perlu diselamatkan karena fungsinya adalah sebagai buffer atau penyangga dari terminal peti kemas. Oleh karenanya sebaiknya di inventarisir TPS yang ada yang masih bisa perrhankan sebagai buffer itu,” papar Toto.
Disisi lain, Depalindo juga justru khawatir saat ekonomi dunia pulih dan perdagangan internasional kembali booming maka akan butuh kapasitas buffer yang memadai di pelabuhan Tanjung Priok. Namun, kalau buffer-nya ternyata sudah tutup semua karena collaps, nanti akan sangat merepotkan bagi terminal peti kemas maupun pemilik barang.
“Kita sadar ekspor impor kita saat ini belum signifikan bahkan cenderung masih lesu sehingga rata-rata YOR terminal peti kemas turun. Tetapi saat YOR naik akibat ekspor impor tumbuh kembali maka kita tetap butuh buffer,” ucapnya.
Depalindo juga menyampaikan rasa keprihatinan yang sama seperti halnya Kadin DKI Jakarta dan GINSI.
Sebelumnya, Kadin DKI Jakarta dan GINSI mengaku prihatin jika ratusan karyawan tempat penimbunan sementara peti kemas (TPS) di pelabuhan Tanjung Priok, terpaksa terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) lantaran fasilitas TPS overbrengen alami collaps.
Hal itu imbas tidak optimalnya produktivitas di fasilitas TPS yang menjadi buffer kawasan pabean pelabuhan Tanjung Priok dalam kegiatan pindah lokasi penumpukan atau overbrengen peti kemas impor.
“Ya prihatin kalau hal itu (PHK) benar-benar terjadi, karena akan berdampak pada bertambahnya pengangguran. Padahal pelabuhan Priok sebagai pelabuhan tersibuk di Indonesia semestinya bisa memberikan manfaat ekonomi yang lebih besar, termasuk menumbuhkan lapangan kerja bagi sektor swasta,” ujar Wakil Ketua Umum BPP Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Erwin Taufan, kepada logistiknews.id.
GINSI meminta pemerintah bisa mencari solusinya yang terbaik merespon masalah ini.
Hal senada diungkapkan Wakil Ketua Umum Bidang Transportasi, Logistik dan Kepelabuhanan Kadin DKI Jakarta, Widijanto.
Dia mengaku prihatin dengan kondisi tersebut, apalagi jika berimbas pada potensi PHK massal para pekerja swasta yang selama ini menggantungkan nasibnya dari aktivitas di pelabuhan tersibuk di Indonesia itu.
“Semoga saja PHK massal yang dikhawatirkan itu tidak terjadi, makanya perlu duduk bersama mencari solusi masalah tersebut dengan kepala dingin,” ucap Widijanto.
Sebagaima diketahui, peran TPS overbrengen yang mengantongi perizinan operasional dari Kementerian Keuangan, juga berkontribusi dalam penurunan dwelling time dan kelancaran arus barang di pelabuhan Tanjung Priok.
Terdapat 11 TPS di Priok dan 2 TPS diantaranya sudah lebih dulu tutup atau collaps. Jika masing-masing TPS itu diasumsikan mempekerjakan 50-100 pekerja, setidaknya ada 500-an lebih pekerja yang menggantungkan hidupnya dari sektor usaha itu.
Adapun implementasi dan pengawasan kegiatan di TPS overbrengen sudah diatur melalui regulasi yang sudah diamanatkan melalui Peraturan Menteri Perhubungan (PM) No: 116 Tahun 2016 tentang Pemindahan Barang yang Melewati Batas Waktu Penumpukan.
Kehadiran beleid itu yakni untuk menjaga dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok tetap konsisten agar tidak lebih dari tiga hari. Beleid itu juga berlaku di empat pelabuhan utama, antara lain Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, Tanjung Perak Surabaya, Belawan Medan, dan Pelabuhan Makassar.
“Jika ada aturan Menhub yang tidak optimal dijalankan,maka mesti dilakukan pengawasan langsung oleh Otoritas Pelabuhan setempat yang menjadi kepanjangan tangan atau regulator tertinggi di pelabuhan,” ujar Toto yang juga menjabat Sekjen Gabungan Perusahaan Eksportir Indonesia (GPEI)▪︎ [redaksi@logistiknews.id]