Sorotan Redaksi Sepekan: Merger Pelni & ASDP ke Pelindo, Pemindahan Pintu Masuk Impor Disoal & Konsistensi Dwelling Time

  • Share
TTL Menambah 2 Unit RTGC.

LOGISTIKNEWS.ID- Sejumlah isu menjadi sorotan redaksi sepanjang pekan ini (3 s/d 9 Nopember 2024) yang sekaligus mendapat perhatian pembaca redaksi Logistiknews.id, antaralain; Rencana Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berencana menggabungkan atau merger PT Pelni (Persero) dan PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) ke dalam PT Pelabuhan Indonesia atau Pelindo (Persero).

Selain itu, berita mengenai respon Pebisnis yang menyatakan bahwa Pemindahan Pintu Masuk Impor untuk sejumlah komoditi ke wilayah Timur Indonesia, belum tentu efektif menekan praktik penyelundupan bahkan justru berpotensi membuat cost logistik melambung.

Kemudian, semua pihak atau stakeholders agar terus konsisten dalam upaya menekan dweliing time di Pelabuhan yang saat ini sudah relatif membaik. Berikut selengkapnya:

Rencana Merger ASDP dan Pelni ke Pelindo

Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berencana menggabungkan atau merger PT Pelni (Persero) dan PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) ke dalam PT Pelabuhan Indonesia atau Pelindo (Persero).

Selain untuk mendukung industri maritim nasional, aksi korporasi ini untuk menguatkan konsolidasi ketiga perusahaan plat metah itu sehingga menjadi kekuatan besar di sektor maritim.

Menteri BUMN Erick Thohir menyebut konsolidasi ketiga perusahaan akan menjadi satu kekuatan besar, terutama di sektor pelabuhan dan maritim.

Sebab, imbuhnya, sebagai negara maritim, penting untuk Indonesia menjaga soliditas sinergi kebijakan antara pelayanan pelabuhan dan pengiriman. “Kalau kita terpotong-potong antara kebijakan menyangkut pelabuhan, pengiriman Pelni dan ASDP itu tidak menjadi satu policy, kita akan kalah bersaing,” ucapnya.

Erick menegaskan, tanpa konsolidasi hanya akan membuat bisnis perusahaan pelat merah terpisah-pisah, bahkan tidak bisa bersaing di pasaran.

Menteri BUMN juga mengungkapkan, akibat masih lemahnya sektor kepelabuhanan dan maritim saat ini membuat Indonesia kebanjiran produk impor. Selain itu, terjadi praktik dagang yang dilakukan oleh eksportir dengan menjual barang dari luar negeri dan masuk kedalan negeri dengan harga yang lebih murah (dumping).

Dia kemudian menyinggung gelontoran produk impor yang masuk ke Tanah Air. Menurut dia, hal ini merupakan salah satu konsekuensi dari tidak sinerginya pelayanan pelabuhan dan pengiriman di laut.

Gelontoran produk impor ini membuat industri dalam negeri, termasuk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) tumbang.

“Ini akibat banyak sekali sekarang impor yang masuk dan ini juga dumping, sehingga membunuh UMKM kita. Nah ini kita coba konsolidasikan tidak lain kita bukan mau memproteksi,tetapi bagian fairness,”ujar Erick

Pemindahan Pintu Masuk Impor & Potensi Kerek Cost Logistik

Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) menyatakan, pemindahan pelabuhan impor ke wilayah Indonesia timur akan membuat produk tertentu semakin mahal dijangkau masyarakat.

Adapun tiga titik yang ditetapkan untuk pelabuhan impor yakni Pelabuhan Sorong di Papua Barat Daya, Pelabuhan Bitung di Sulawesi Utara dan Pelabuhan Kupang di Nusa Tenggara Timur (NTT).

Pasalnya, kecil kemungkinan kapal-kapal ocean going akan direct (pengapalan langsun) ke pelabuhan Indonesia timur mengingat infrastruktur pelabuhannya masih belum mumpuni sehingga kapal asing tidak akan mau direct ke sana.

“Selain biaya logistik menjadi melambung, masyarakat di pulau Jawa dan Sumatera akan mengalami kesulitan mendapatkan produk-produk tersebut kecuali dengan harga yang lebih mahal dari biasanya jika pintu masuk pelabuhan impor dipindahkan ke kawasan timur,” ujar Ketua Umum BPP GINSI, Capt Subandi, pada Selasa (5/11/2024).

Dia menegaskan, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) sebagai kementrian yang mengurusi perindustrian harusnya mendorong tumbuhnya industri-industri dengan melakukan pembinaan pada industri nasional bukan justru menngatur pintu masuk impor.

“Sebab, jangan sampai nanti akan ada industri atau pabrik di Pulau Jawa dan Sumatra yang mengalami nasib serupa dipailitkan seperti Sritex akibat banjir barang-barang ilegal lantaran demand-nya tinggi tetapi supply-nya terhalang atau mahalnya bahan baku yang di butuhkan untuk industri padat karya itu,” ucap Capt Subandi.

Oleh karena itu, imbuhnya, Kemenperin harus terukur kinerjanya dengan me-mapping ada berapa banyak industri baru, baik kecil maupun besar. Kemudian, ada berapa banyak industri yang tutup akibat kesulitan berbagai hal.

“Lalu, bisakah Kemenperin membina sehingga industri tersebut tidak colaps ?. Dan ada berapa banyak industri kecil naik kelas menjadi industri menengah, dan ada berapa banyak industri menengah yang naik kelas menjadi industri besar, dan seterusnya,” papar Subandi.

Ketum GINSI menyarankan, ketimbang memindahkan pintu masuk impor sebaiknya perlu ada pembagian quota untuk aktivitas impor yang melalui Indonesia bagian timur dan Indonesia bagian barat.

“Sebab, apabila demand-nya tinggi sementara supply-nya rendah bisa mendorong terjadinya praktik penyelundupan. Apalagi, kita juga faham kok, kalau petugas Kepabeanan dan Cukai juga bukan malaikat, masih saja ada oknumnya yang nakal,” ujar Subandi.

Perlu Kajian Konprehensif

Hal Senada di utarakan Ketua Umum Dewan Pemakai Jasa Angkutan Laut Indonesia (Depalindo) Toto Dirgantoro.

Dia justru mempertanyakan rencana Pemerintah yang akan memindahkan pintu masuk pelabuhan impor atau entry point untuk sejumlah komoditas industri tertentu ke wilayah Indonesia timur.

Menurutnya, rencana tersebut belum tentu efektif dalam menekan praktik penyelundupan sepanjang pengawasan instansi terkait dalam urusan importasi tidak tegas dan memakai sistem IT yang mumpuni.

“Inti masalahnya bukan pada dimana pintu masuknya impor. Jika sekarang bagaimana  sistem pengawsannya dan penegakkan aturannya yang setegas-tegasnya. Sebab kalau pengawasanyanya lemah, mau dipindahkan dimanapun tetap saja ada potensi praktik penyelelundupan itu bisa lolos. Kalau sudah seperti itu, enggak efektif,” ujar Toto kepada Logistiknews.id, pada Senin Malam (4/11/2024).

Depalindo, imbuhnya, sangat memahami rencana pemindahan pintu masuk importasi tersebut yakni semangatnya untuk menekan penyelundupan atas masuknya barang-barang murah untuk melindungi industri dalam nasional.

Diapun mencontohkan, salah satu permasalahan yang dialami Perusahaan tekstil PT Sri Rejeki Isman (SRIL) atau Sritex yang dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri Semarang beberapa waktu lalu, yang salah satu penyebabnya lantaran tidak bisa bersaing dengan gempuran atau banjirnya produk impor di industri padat karya seperti tekstil.

Contoh lainnya, ketika importasi komoditi buah tidak lagi di perkenankan masuk melalui Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta namun melalui Tanjung Perak Surabaya sejak  beberapa waktu lalu.

Fenomena ini, imbuhnya, juga justru membuat cost logistik melonjak, lantaran dari Surabaya diantarpulaukan lagi ke Jakarta. Sementara disisi lain, Jakarta merupakan salah satu konsumen terbesar buah-buahan.

“Jadi ini soal pengawasan yang mesti tegas, termasuk pengawasannya yang diluar pelabuhan, termasuk aktivitas impor yang diantarpulaukan. Apalagi, sudah ada aturan larangan pembatasan (lartas) soal importasi,” ucapnya.

Depalindo juga mempertanyakan, apakah rencana pemindahan pintu masuk impor ke kawasan timur Indonesia itu sudah melalui pengkajian yang komprehensif.

“Kajiannya bagaimana. Ada gak atau berapa banyak kapal yang kesana dari luar untuk mau melayani impor tersebut. Lalu bagaimana dengan fasilitas sarana dan prasarana pelabuhannya ?. Juga dukungan jaringan distribusi atau multimodanya termasuk depo penopangnya seperti apa ?, tanya Toto.

Untuk itu, Pemerintah harus berhati-hati menetapkan pintu masuk untuk importasi tersebut. “Sekali lagi, apakah sudah di kaji?, tegasnya.

Karenanya, Depalindo justru mendesak agar pengawasan terhadap keluar masuk barang (ekspor maupun impor) lebih efektif melalui sistem IT yang mumpuni lewat alat pemeriksaan seperti X-Ray atau Hi-Co Scan di pelabuhan.

Hi-Co Scan

Depalindo justru menginginkan pemanfaatan penggunaan alat pemindai peti kemas atau Hi-Co Scan untuk layanan ekspor impor di 5 pelabuhan utama di Indonesia.

Kelima pelabuhan utama itu yakni: Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, Tanjung Perak Surabaya, Tanjung Emas Semarang, Belawan Medan, dan Pelabuhan Makassar.

“Justru anehnya, kenapa sampai sekarang belum di implementasikan (Hi-Co Scan) Peti Kemas tersebut, padahal sudah ada aturannya untuk itu,” ujarnya.

Diapun bercerita, bahwa pada 2022 dirinya bersama Ketua Umum DPP GPEI Benny Soetrisno, berkesempatan meninjau West Port Malaysia, dimana di pelabuhan tersebut terdapat lebih dari 65 unit alat pemindai peti kemas untuk memeriksa seluruh peti kemas yang keluar dan masuk pelabuhan itu.

“Alat itu dipasang di gate in dan gate out pelabuhan tersebut. Tujuannya, mengontrol masuknya barang impor di Malaysia lantaran maraknya beredar barang impor dengan harga rendah. Dengan begitu, barang murah di Malaysia bisa tertahan dan sangat menolomg ekonomi di negara itu,” ucap Toto.

Surati Bea Cukai

Atas dasar itu, ungkapnya, Depalindo dan GPEI bersurat ke Ditjen Bea dan Cukai maupun  Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan berharap di pelabuhan-pelabuhan utama di Indonesia juga diterapkan Hi-Co Scan peti kemas.

“Namun jangan sampai implementasinya menghambat kelancaran arus barang. Tetapi semangatnya untuk melindungi pasar (produk) di dalam negeri. Apalagi saat ini, pasar ekspor kita hanya sekitar 20%. Dan saat ekonomi global gonjang ganjing, komoditi yang semula orientasi ekspor itu bisa untuk kebutuhan didalam negeri,” papar Toto.

Dia menegaskan, multiplier efek dengan adanya alat pemindai peti kemas, selain bisa memfilter arus barang dari dan ke pelabuhan laut juga menekan praktik penyelundupan yang berpotensi merugikan pemasukan negara.

“Selain menjaga kedaulatan negara dari masuknya barang ilegal, penggunaan Hi-Co Scan peti kemas dapat memberikan dampak positif pada seluruh rantai logistik dan mendukung efisiensi pelayanan bongkar muat di pelabuhan,” ujar Toto.

Penyiapan HI-Co Scan atau X-Ray Peti Kemas, sejalan dengan amanat Peraturan Menteri Keuangan Nomor 109/PMK.04/2020 Tahun 2020 tentang Kawasan Pabean dan Teknologi di sektor logistik dan pabean.

Bahkan, demi optimalisasi pemeriksaan barang dengan mengunakan alat itu juga telah diamanatkan melalui keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu nomor Kep-99/BC/2003 dan tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan/PMK No: 109/04/ tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.04/2017 tentang Tata Cara Pengenaan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor Berdasarkan Perjanjian atau Kesepakatan Internasional

Pelabuhan Sorong, Bitung & Kupang

Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, pemerintah akan memindahkan pelabuhan impor atau entry point untuk sejumlah komoditas industri tertentu ke wilayah Indonesia timur.

Tiga titik yang ditetapkan untuk pelabuhan impor yakni Pelabuhan Sorong di Papua Barat Daya, Pelabuhan Bitung di Sulawesi Utara dan Pelabuhan Kupang di Nusa Tenggara Timur (NTT).

Hal tersebut bertujuan melindungi industri manufaktur dalam negeri. “Ini sesuai dengan usulan memindahkan pintu masuk barang impor dalam rangka mengamankan pasar domestik bagi produk dalam negeri sekaligus meningkatkan kapasitas logistik di Indonesia,” ujar Agus dilansir siaran pers Kemenperin, Senin (4/11/2024).

Adapun beberapa komoditas yang jadi prioritas program pemindahan itu antara lain elektronik, tekstil dan produk tekstil (TPT), pakaian jadi, alas kaki, kosmetik, keramik, katup, dan obat tradisional.

Menperin menyebutkan, alasan pemindahan entry point untuk sejumlah komoditas tersebut karena rawan terhadap serbuan barang impor murah atau ilegal.

Dengan demikian, pemindahan pelabuhan impor ke kawasan Indonesia bagian timur akan menjadi fokus Kabinet Merah Putih.

“Ini kami jadikan fokus kebijakan pemerintahan Kabinet Merah Putih untuk menetapkan pelabuhan impor di Sorong, Bitung, dan Kupang,” tegas Agus Gumiwang.

Adapun pemindahan pelabuhan impor ke wilayah Indonesia timur itu merupakan salah satu program quick wins yang dirumuskan Kemenperin untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional sesuai target pemerintah

Konsistensi Menekan Dwelling Time di Pelabuhan

Peran fasilitas Tempat Penimbunan Sementara untuk kegiatan pindah lokasi penumpukan peti kemas atau TPS overbrengen yang mengantongi perizinan operasional dari Kementerian Keuangan, selama ini diklaim berkontribusi dalam penurunan dwelling time dan kelancaran arus barang di pelabuhan.

Adapun implementasi dan pengawasan kegiatan di TPS overbrengen telah diatur melalui regulasi yang telah diamanatkan melalui Peraturan Menteri Perhubungan (PM) No: 116 Tahun 2016 tentang Pemindahan Barang yang Melewati Batas Waktu Penumpukan.

Kehadiran beleid itu, yakni untuk menjaga dwelling time di Pelabuhan tetap konsisten agar tidak lebih dari tiga hari. Beleid itu juga berlaku di empat pelabuhan utama, antara lain Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, Tanjung Perak Surabaya, Belawan Medan, dan Pelabuhan Makassar.

Pindah Lokasi Penimbunan (PLP) adalah pemindahan barang impor yang belum diselesaikan kewajiban pabeannya dari satu Tempat Penimbunan Sementara (TPS) ke TPS lain.

Sedangkan Dwelling time (DT) adalah waktu yang dibutuhkan sejak barang turun dari kapal atau ditimbun hingga keluar dari pelabuhan. DT juga dapat diartikan sebagai rata-rata waktu barang ditumpuk selama periode tertentu.

Dalam industri pengiriman, DT merupakan waktu yang dihabiskan kapal di pelabuhan saat proses bongkar muat. DT dapat bervariasi tergantung pada beberapa faktor, seperti kapasitas pelabuhan, kondisi ekonomi dan politik, serta peristiwa khusus.

Berdasarkan dashbord Indonesia National Single Window (NSW), selama tiga bulan terakhir (Agustus, September dan Oktober 2024) di empat pelabuhan utama seperti Tanjung Priok, Tanjung Perak/Tanjung Emas, Makassar, dan Belawan, relatif kurang dari tiga hari.

Adapun dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok pada Oktober 2024 mencapai rerata 2,54 hari, Tanjung Perak/Tanjung Emas 2,92 hari, Makassar 2,36 hari dan Belawan 3,06 hari.

Pada September 2024, dwelling time di Tanjung Priok rerata 2,84 hari, Tanjung Emas/Tanjung Perak 3,3 hari, Makassar 2,58 hari dan Belawan 2,51 hari.

Sedangkan pada Agustus 2024, dwelling time di Tanjung Priok rerata 2,67 hari, Tanjung Emas/Tanjung Perak 3,15 hari, Belawan 2,61 hari, serta Makassar 2,54 hari.[redaksi@logistiknews.id]

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *