Oleh: Akhmad Mabrori
Managing Editor Logistiknews.id
UPAYA memberantas praktik truk over dimension dan over load (ODOL) kembali didengungkan. Perang terhadap praktik itu-pun kian terbuka kali ini. Bahkan, Pemerintah melalui Menteri Perhubungan (Menhub) Dudy Purwagandhi, bakal mempidanakan pihak-pihak yang terlibat dalam praktik truk obesitas itu.
Bukan cuma pengemudi truk-nya, namun pengusaha truk-nya hingga pengguna jasanya (pemilik barang) yang terlibat praktik ODOL juga berpotensi diseret ke ranah pidana. Pasalnya, selama ini jika terjadi kecelakaan maka yang lebih sering disalahkan yakni cuma pengemudi-nya.
Padahal Sopir Truk hanya bekerja, tanpa arahan dan perintah dari pemberi kerja maka tidak akan terjadi. Karenanya, Menhub menegaskan bahwa pihak yang bertanggung jawab jika terjadi kecelakaan tersebut adalah pelaku usaha-nya.
Bahkan keseriuaan Kemenhub memberantas praktik ODOL juga ditindaklanjuti melalui koordinasi dengan Kakorlantas Polri untuk penanganan Truk ODOL ini. Selain itu, telah berbicara dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) maupun Pemerintah Daerah (Pemda) untuk opsi mencabut izin usaha pihak-pihak yang terbukti dalam praktik itu.
Non Kontainer
Namun menurut Ketua Umum Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Jakarta, Adil Karim, praktik ODOL hanya pada kategori angkutan truk non peti kemas atau breakbulk.
Sedangkan untuk angkutan petikemas- sangat kecil kemungkinan praktik seperti itu. Apalagi jika itu merupakan kargo ekspor impor, sudah wajib memenuhi standar aturan berlaku internasional/IMO.
“Kalau ekspor impor, berat petikemas menjadi salah satu syarat dalam proses sebelum pengapalan. Makanya, ada aturan yang namanya VGM kontainer kalau di Pelabuhan,” ujar Adil kepada Logistiknews.id, pada Minggu (11/5/2025).
Verified Gross Mass atau VGM merupakan data mengenai berat total kontainer pengiriman yang sudah termasuk kargo, bahan pengaman, pallet, dan berat tara kontainer itu sendiri.
VGM wajib dinyatakan sebelum kontainer dimuat ke kapal, sebagai persyaratan dari peraturan Safety of Life at Sea (SOLAS) yang distandarkan oleh International Maritime Organization (IMO).
Pada prinsipnya, kata Adil, pelaku logistik sangat setuju dan mendukung pemberantasan praktik ODOL dengan mempertimbangkan aspek keselamatan atau safety-nya maupun ekonomis-nya (cost logistik). Sedangkan untuk masuk ke ranah pidana bagi pelanggarnya, sebaiknya harus ada payung hukumnya yang lebih detil.
“Banyak aspek kalau bicara safety, bukan cuma menyangkut volume muatannya, atau kompetensi pengemudinya tetapi bagaimana kondisi maintenance armada truknya. Sebab ada juga truk tanpa muatan-pun alami kecelakaan,” ucap Adil.
Terkait dengan volume muatan berlebih pada angkutan barang, tegas Adil, umumnya hanya bisa dilakukan pada kargo non kontainer atau breakbulk, seperti Semen, Besi Baja, air dalam kemasan, hingga pasir, hasil tambang serta kargo kebutuhan pembangunan infrastruktur. Untuk itu, hal ini mesti dibicarakan dengan Industri-nya terlebih dahulu.
“Kalau yang dimuat dalam kontainer, bagaimana mau ODOL ?. Karena mau masuk pelabuhan dilakukan penimbangan. Kalau gak sesuai standar (kelebihan berat) enggak bisa dilakukan proses pengapalan,” ucap Adil.
Masalah, Bukan Cuma ODOL
Sebelumnya, Ketua Umum DPP Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Gemilang Tarigan mengemukakan, penindakan terhadap truk ODOL tidak akan efektif kalau tebang pilih seperti yang terjadi selama ini.
Aptrindo juga telah menyampaikan lima persoalan krusial yang masih menjadi persoalan dan tantangan sektor transportasi yang berkaitan dengan usaha trucking.
Aptrindo-pun telah menyampaikan hal itu saat menghadiri rapat koordinasi Sektor Transportasi dalam Rangka Mewujudkan Program Kerja Kabinet Merah Putih 2024-2029, yang dipimpin langsung oleh Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi, di Kantor Kemenhub, beberapa waktu lalu.
Pertama, yakni menyangkut soal pentingnya ketegasan dan pengawasan menyeluruh dan berkeadilan mengenai aturan Over Load dan Over Dimension (ODOL). Aptrindo meminta soal ODOL ini tidak tebang pilih.
Kedua, perlu segera di ambil action konkret mengenai kelangkaan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi untuk Truk Logistik di sejumlah daerah.
Sebab, banyak truk anggota Aptrindo sulit memperoleh BBM tersebut. Sehingga truk logistik menganggur alias tidak bisa beroperasi. Dan fenomena ini merimbas pada aktivitas logistik.
Ketiga, Aptrindo meminta Pemerintah agar mendukung program peremajaan kendaraan truk logistik, lantaran usia truk yang beredar hampir diseluruh wilayah Indonesia saat ini mayoritas berusia lebih dari 15 tahun, bahkan ada yang sudah lebih 20 tahun.
Program peremajaan truk ini untuk mendukung mewujudkan green transportation and logistics.
Keempat, adanya perbaikan pada sistem perizinan secara online (OSS) untuk usaha sektor transportasi khususnya trucking.
Kelima, Aptrindo mengingatkan Pemerintah untuk tidak melakukan Pembatasan Angkutan Barang dan Logistik terutama saat libur panjang Natal dan Tahun Baru (Nataru) agar aktivitas ekspor impor tidak terganggu.
Jangan Molor Lagi
Pemerhati logistik dan kemaritiman dari Indonesia Logistic and Maritime Watch (IMLOW), Achmad Ridwan Tento, juga konsen menyoroti praktik ODOL lantaran hingga kini praktik tersebut belum mampu diberantas secara penuh.
Pasalnya, Pemerintah telah memprogramkan bebas praktik ODOL tersebut pada awal 2023. Namun faktanya, hingga kini praktik ODOL masih menjadi persoalan, dan seolah tak kunjung usai.
Karena itu, diperlukan ketegasan Pemerintah pusat dan dan daerah tanpa tebang pilih untuk menegakkan aturan bebas truk ODOL di seluruh wilayah Indonesia jika ingin memberantas ODOL. Sehingga Zero Odol tidak molor lagi.
Menurut Ridwan, praktik ODOL dapat dihilangkan jika semua pihak komitmen pada aspek safety atau keselamatan angkutan barang dijalan ketimbang hanya mempertimbangkan aspek keekonomian (efisiensi) logistik.
“Jadi kita mesti fokuskan pada aspek keselamatannya jika benar-benar mau memberantas praktik ODOL, dan penegakkan hukumnya jangan tebang pilih,” ujar Ridwan.
Program bebas ODOL juga merupakan cara mengurangi beban kerusakan infrastruktur jalan yang saat ini sangat membebani anggaran negara.
Oleh karena itu, IMLOW mengajak semua pihak untuk mendukung dalam menyukseskan pemberantasan praktik truk ODOL.
“Pemerintah mesti komitmen dan jalan terus dengan program Zero ODOL itu meskipun masih terdapat pihak-pihak yang merasa keberatan dengan program itu, sehingga mesti tertunda dari target waktu semula. Sebab salah satu tantangan dari kehadiran kendaraan angkutan barang di Indonesia adalah upaya untuk mengurangi kendaraan ODOL,” ucap Ridwan.
ODOL merupakan kendaraan logistik yang mengangkut barang secara berlebihan. Artinya, kendaraan berat yang memiliki dimensi dan muatan berlebih, atau tidak sesuai regulasi yang berlaku.
Praktik ODOL kerap kali menimbulkan masalah, lantaran berpotensi kecelakaan di jalan raya. Sebab, dengan membawa beban berlebih, potensi truk ODOL mengalami insiden cukup besar, mulai karena rem blong sampai hilang kendali yang tak hanya berdampak kerusakan, namun korban jiwa.
Praktik ODOL juga menimbulkan persoalan sosial lainnya, termasuk biaya bahan bakar yang lebih tinggi, berkontribusi besar pada kerusakan jalan, bahkan pencemaran udara atau polusi.
Disisi lain, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) juga agar terus berupaya untuk mengurangi aktivitas kendaraan ODOL dengan melarang kendaraan berlebih muatan dan dimensi tersebut memasuki jalan tol juga dengan memaksimalkan pengoperasian UPPKB di jalan nasional.
Dengan cara itu, praktik ODOL bisa diminimalisrir untuk menjaga keselamatan. Sekaligus juga mengalihkan sebagian angkutan jalan ke moda lain seperti angkutan kereta api maupun angkutan laut.
Jadi mesti lebih cermat dalam memberantas praktik truk ODOL agar tak salah sasaran, agar aktivitas distribusi barang tak terimbas.
Apalagi, jika sampai multiplier efeknya bikin cost logistik melambung dan performance indeks logistik RI anjlok.[am]













