LOGISTIKNEWS.ID – Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) menyoroti praktik kegiatan kadeloosing atau transit penumpukan kargo breakbulk impor dan non curah disisi dermaga/sisi kapal lantaran tidak langsung dimuat ke trucking/on chasis.
Pemilik barang juga mengeluhkan masih adanya kewajiban 25% penggunaan alat bongkar muat di darat jenis gantry lufting crane (GLC) untuk kargo breakbulk atau nonkontainer di terminal konvensional pelabuhan Tanjung Priok.
“Kadeloosing itu tidak tercantum dalam struktur layanan dan biaya bongkar muat. Namun akibat kondisi tertentu maka kerap kali kargo breakbulk mesti dilakukan kadeloosing atau penumpukan sementara disisi dermaga/kapal, sebelum dilakukan truckloosing ataupun perpindahan ke lokasi lapangan penumpukan maupun gudang,” ujar Ketua Umum BPP GINSI Capt Subandi, dikantornya kepada wartawan, Jumat Sore (18/3/2022).
Selain itu, ungkapnya, kewajiban penggunan GLC mininal 25% dari kegiatan bongkar muat breakbulk di pelabuhan Priok saat ini dinilai sudah tidak relevan lagi, apalagi jika kapal memiliki crane kapal yang produktivitasnya justru lebih cepat dan efisien.
Menurut Capt Subandi, kondisi itu mengakibatkan biaya logistik penanganan bongkar muat breakbulk di pelabuhan Tanjung Priok cenderung membebani dunia usaha atau pemilik barang.
“Oleh karenanya GINSI mendesak peniadaan kegiatan kadeloosing serta mengevaluasi kewajiban penggunaan GLC minimal 25% atas kegiatan bongkar muat kargo breakbulk di Pelabuhan Tanjung Priok itu,” ungkapnya.(am)