LOGISTIKNEWS.ID – Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) menggelar Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) ke III yang dilaksanakan di Jakarta pada 23 Juli 2022.
Rapimnas tersebut mengusung tema ‘Perkuatan Sinergitas BPP dan BPD’, yang dibuka langsung oleh Ketua Umum BPP GINSI, Capt.Subandi.
“Sebagai wadah para importir, GiNSI harus tetap eksis di Indonesia dan terutama yang ada pelabuhan-pelabuhannya terhadap kegiatan pelayanan internasional atau ocean going,” ujarnya
Dia mengatakan, pada Rapimnas ini diharapkan ada masukan-masukan konstruktif dari anggota GINSI yang pada akhirnya bisa membawa kemajuan signifikan terhadap organisasi.
Rapimnas ke III GINSI itu selain diikuti Pengurus BPP juga dihadiri hampir semua pengurus BPD di Indonesia.
Capt Subandi juga mengatakan, keberadaan GINSI di daerah-daerah seluruh Indonesia akan terus di tingkatkan dengan melibatkan SDM atau pengurus daerah yang lebih kompeten.
“Kami secara terbuka memberi kesempatan kalau ada yang bersedia untuk menjadi pengurus di daerah yang notabene belum ada pengurus GINSI-nya, namun tentunya melalui seleksi yang ketat,” ucapnya.
Capt Subandi menegaskan, sebagai Ketum BPP GINSI, dirinya juga kedepannya pasca sinergitas antara BPP dan BPD, akan membenahi badan pengurus daerah (BPD) yang kurang aktif.
“Pembenahan terhadap pengurus daerah yang kurang aktif itu melalui dua cara yakni segera BPD untuk melaksanakan Musda (musyawarah daerah) atau secara sukareka menyerahkan tongkat kepengurusannya kepada badan pengurus pusat (BPP),” tegas Capt Subandi.
Soroti Berbagai Persoalan
Pada Rapimnas ke III GINSI itu juga dibahas beberapa persoalan terkait importasi yang berhubungan dengan sosialiasi sejumlah peraturan dari regulator untuk membantu importir antara lain menyangkut pengenalan tata cara mengenai persetujuan impor yang berlaku saat ini.
Capt Subandi menyampaikan, pentingnya sinergitas antara regulator dan pelaku usaha khususnya para importir GINSI.
“Bahkan baru-baru ini GINSI juga diundang dalam pertemuan kordinasi dengan Bea dan Cukai Tanjung Priok. Disitu saya tegaskan agar Bea dan Cukai membuka ruang komunikasi kooperatif apabila terjadi hambatan-hambatan dalam layanan impor di pelabuhan Priok,” ucap Subandi.
Rapimnas GINSI itu juga menyoroti berbagai persoalan yang berkaitan dengan penurunan kegiatan importasi oleh anggota GINSI, termasuk penundaan pembayaran dari customer dalam tempo yang cukup lama sehingga mengganggu cashflow perusahaan importir.
Selain itu, imbuhnya, menyangkut keberadaan pusat logistik berikat (PLB) yang saat ini cukup membantu pelaku importasi lantaran pembayaran bea masuk dilakukan belakangan atau ditunda hingga barang impor keluar dari PLB.
Cost Pelabuhan & Kapal asing
Pada kesempatan Rapimnas GINSI itu juga menyoroti soal tarif-tarif di pelabuhan.
“Kemarin saya keras mengkritisi rencana penaikkan tarif container handling charges (CHC) di Pelabuhan Tanjung Priok sebab multiplier efek terhadap hal itu pasti muaranya ke pemilik barang/importir. Makanya kami mengajak semua pengurus GINSI di daerah-daerah juga untuk kritis terhadap tarif-tarif di pelabuhan.
Rapimnas GINSI itupun menyoroti masih adanya biaya-biaya kapal asing pengangkut ocean going yang mengutip sejumlah biaya yang tidak ada pelayanannya dengan istilah atau terminologi yang aneh-aneh.
“Cost logistik itu bisa diukur pada tiga elemen yakni ongkos angkut pelayaran/pengapalan atau freight, biaya di pelabuhan (port charges), dan biaya di luar pelabuhan. Kalau ketiga elemen itu tidak bisa dikendalikan jangan berharap cost logistik bisa turun,” tandas Capt Subandi.
Saat ini kepengurusan GINSI ada di sejumlah Provinsi, antara lain: DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Papua, Bali, Kalimantan Barat, Sumatera Barat, Jawa Barat, dan Banten.(am)