LOGISTIKNEWS.ID – Dewan Pemakai Jasa Angkutan Logistik Indonesia (Depalindo) mendukung implementasi Terminal Booking System (TBS) di Jakarta International Container Terminal (JICT) demi tertatanya lalu lintas trucking guna mewujudkan efisiensi layanan logistik dari dan ke pelabuhan Tanjung Priok.
Ketua Umum Depalindo Toto Dirgantoro mengatakan, namun manajemen JICT perlu menyiapkan buffer trucking yang cukup supaya implementasi TBS di terminal peti kemas terpadat di Pelabuhan Tanjung Priok itu, bisa berjalan optimal sesuai harapan pengguna jasa.
“Sebab kalau tidak ada buffernya, potensi kepadatan akibat kemacetan trucking tidak bisa dihindari. Dan jika truk sudah submit dengan sistem TBS itu tetapi terlambat masuk jangan sampai terkena denda,” ujar Toto, kepada Logistiknews.id, pada Sabtu (4/3/2023).
Dia menegaskan, jika pihak JICT menerapkan punisment keterlambatan trucking yang sudah submit TBS dengan sistem denda berupa nominal maka Depalindo mendesak pihak JICT juga mesti siap membayarkan kompensasi jika terjadi keterlambatan atau gangguan pelayanan dari pihak JICT.
“Kalau truk yang sudah submit TBS telat masuk didenda maka mesti ada kompensasi juga dari JICT jika layanannya lambat tidak sesuai SLA/SLG. Sehingga fairnes adanya,” ucap Toto.
Menurutnya, bila trucking dikenakan denda maka JICT juga harus dikenakan penalti apabila ada keterlambatan dalam menerima petikemas ekspor atau delivery peti kemas impor seperti saat beberapa kali sistem JICT error sehingga merugikan pengguna jasa.
“Depalindo mengapresiasi upaya manajemen JICT menerapkan TBS di terminalnya lantaran hal ini merupakan langkah maju layanan kepelabuhanan guna menekan cost logistik,” ucap Toto.
Seperti diketahui, pada Rabu (1/3/2023) PT Jakarta International Container Terminal atau JICT telah meluncurkan layanan Terminal Booking System (TBS) berbasis mekanisme pre-booking.
Hal itu merupakan inovasi JICT dalam rangka menata rute truk angkutan pelabuhan sekaligus memotong biaya logistik nasional lantaran dengan melakukan booking terlebih dahulu, pergerakan truk petikemas pengangkut ekspor impor lebih efisien dan bisa mengurangi kemacetan.
Identitas Trucking
TBS di Pelabuhan Tanjung Priok sebagai bagian dari penerapan Single Truck Identification Data (STID) dan saat ini sedang mengarah pada program Driver ID atau pendaftaran Pengemudi Trucking yang berkegiatan di pelabuhan tersibuk di Indonesia itu kedalam Sistem Driver Identification Data.
Sebelumnya, kalangan lengusaha truk yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaja Truk Indonesia (Aptrindo) merespon implementasi Terminal Booking System (TBS) di Jakarta International Container Terminal (JICT), demi peningkatan produktivitas layanan barang dan logistik dari dan ke pelabuhan Tanjung Priok.
Namun, menurut Ketua Umum DPP Aptrindo Gemilang Tarigan, peningkatan produktivitas tersebut harus sama-sama dirasakan oleh Terminal Peti Kemas serta Perusahaan Trucking maupun Pemilik Barang atau PPJK (perusahan jasa transportasi dan kepabeanan) yang mewakilinya.
“Produktivitas itu semua pihak harus sama-sama untung. jangan cuma pengelola terminal saja yang untung lantaran produktuvitasnya naik tetapi kami dari trucking justru ‘bonyok’ karena sudah dikoneksi dengan TBS namun masih macet akibat tidak ada buffer truknya yang memadai di pelabuhan,” ujar Gemilang kepada Logistiknews.id.
Untuk itu, penerapan TBS di JICT hendaknya dicermati seksama dan bila perlu dilakukan study banding melihat pelabuhan-pelabuhan yang telah menerapkan semacam sistem booking truck maupun return cargo tersebut.
Menurutnya, pelabuhan di sejumlah negara seperti Australia dan Dubai Port juga telah memberlakukan sistem booking cargo di pelabuhan, tetapi infrastruktur dan dukungan hinterland nya sangat mumpuni.
“Nah kalau di Pelabuhan Priok, kita rasakan sendiri selama ini, dari dan ke hinterland (industri) saja sudah macet, belum lagi ke depo empty untuk pulangin atau ambil kontainer harus antre cukup lama. Sehingga kalau trucking sudah disubmit dengan TBS tetapi terkendala kemacetan diluar, siapa yang tanggung jawab ?. Jangan sampai ribut ini antara trucking, pemilik barang atau PPJK saling menyalahkan akibat barang terlambat masuk pelabuhan tidak sesuai dengan jadwal TBS yang sudah di submit sebelumnya,” papar Gemilang.
Untuk itu, Aptrindo mendesak agar implementasi TBS di JICT bisa sama-sama berfaedah bagi semua pihak (pengguna jasa) harus ada prasyaratan buffer truckingnya yang sudah siap.
“Kalau truk kecepetan sampai pelabuhan, lalu mau nunggu dimana jika buffernya belum siap ?, lalu bagaimana dengan keamanan barangnya ?.” tanya Gemilang.
Dia mengatakan, penerapan TBS janganlah melihat kepentingan saru sisi terminal saja supaya penggunaan alat berat atau fasilitas bongkar muat mereka optimal kerjanya selama 24 jam.
“Selama ini alat atau crane di terminal biasanya bekerja full pada shift 3 sedangkan di shift 1 dan 2 cenderung slow lantaran barang/peti kemas belum masuk pelabuhan. Nah dengan TBS diharapkan layanan terminal bisa di split ke waktu-waktu yang slow itu. Jadi intinya, TBS itu sementara ini yang kami lihat baru sebatas untuk mendorong optimalisasi fasilitas dan peralatan di terminal peti kemas,” papar Gemilang.[am/hl]