LOGISTIKNEWS.ID – Kesemrawutan yang kerap terjadi di fasilitas depo empty diluar pelabuhan dalam kegiatan pengambilan atau pengembalian peti kemas kosong (empty), masih dikeluhkan para pelaku usaha trucking di pelabuhan Tanjung Priok.
Pasalnya, trucking mesti antre berjam-jam bahkan seringkali seharian untuk mengembalikan peti kemas eks impor di depo empty.
“Selain menyebabkan kemacetan di sekitar area depo, kondisi itu juga berimbas pada ritase trucking yang terus merosot. Akibatnya biaya logistik membengkak,” ujar Ketua Umum DPP Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Gemilang Tarigan, melalui keterangannya pada Minggu (28/5/2023).
Untuk itu, Aptrindo selaku pebisnis disektor transportasi dan logistik mengusulkan agar Pengelola Depo Empty mempunyai kerjasama antar depo sehingga truk bisa menyerahkan/mengambil container di depo yang terdekat atau tercepat.
“Langkah ini diharapkan bisa mengurangi kemacetan jalan, memecah antrian serta mempercepat bongkar muat peti kemas,” ucapnya.
Kemudian, imbuh Gemilang, mesti ada aturan tentang depo virtual, sehingga kontainer eximpor/inbound dapat langsung dipakai untuk ekspor/outbound. Pasalnya, tidak semua peti kemas melalui depo.
“Hal ini bisa menghemat bahan bakar minyak (BBM) truk, dan mengurangi jumlah lintasan truk dijalan yang pada akhirnya bisa menurun biaya logistik,” tegas Gemilang.
Seperti diketahui, Logistik Performace Index (LPI) Indonesia pada 2023 berada diangka 3.0 atau menempati posisi ke 63 di dunia berdasarkan data laporan World Bank, baru-baru ini.
Berdasarkan data itu, Score LPI Indonesia masih berada di bawah Chile, Vietnam maupun Brazil. Bahkan jauh tertinggal jika dibandingkan dengan Singapura yang menempati urutan score tertinggi LPI versi World Bank yakni 4.3 dan Hongkong dengan score 4.0.
Laporan itu juga merinci mengenai Custom Score, infrastruktur, International Shipments, Logistic Competent & Quality, serta Tracking and Tracing.
Penertiban
Sebelumnya, Ketua Umum BPP Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Capt Subandi, mengatakan keberadan depo empty sering menimbulkan kemacetan luar biasa di akses keluar masuk Pelabuhan, khususnya di Jalan Cakung Cilincing.
“Para sopir truk dan pemilik angkutan pun kerapkali mengeluhkan operasional depo tersebut namun hingga kini tidak ada yg bisa menertibkan. Kami mendesak Pemerintah melalui instansi terkait termasuk Kemenhub untuk segera turun tangan,” ucap Subandi.
Dia mengingatkan, jika Pemerintah serius ingin menurunkan biaya logistik di Indonesia harus mampu mengendalikan dan mengatur biaya-biaya di luar pelabuhan.
Pilihan ini, menurutnya, tidak bisa ditawar lantaran biaya logistik di luar pelabuhan itulah yang selama ini mencekik dan bahkan boleh dibilang ada praktik rente alias seenaknya dan tidak realistis.
“Perlu dicatat bahwa sesungguhnya biaya di pelabuhan saat ini relatif sudah lebih baik karena sebelum di terapkan terlebih dahulu di lakukan kajian, baik oleh konsultan, akademisi maupun praktisi. Tetapi biaya di luar pelabuhan seperti depo empty, biaya di agen shipping international atau agen cargo tidak ada yang menyoroti dan mengontrol. Akibatnya, tak jarang pemilik barang merasa terbebani lantaran cukup banyak agen shipping pengangkut cargo ekspor impor di Indonesia yang menerapkan biaya diluar kewajaran dan cenderung sesukanya, bahkan bermunculan biaya-biaya yang tidak ada layananya,” ungkap Subandi.
Oleh sebab itu, penertiban pada entitas usaha semacam itu perlu dilakukan. Pemerintah harus turun tangan termasuk tim saber pungli untuk memberantas perusahaan-perusahaan yang mengutip biaya yang tidak wajar dan juga tidak ada layanannya.
“Bila perlu, Pemerintah melalui Kementerian terkait (Kemenhub atau BKPM ) mengevaluasi izin-izin perusahaan depo empty seperti itu,” ucap Subandi.[Akhmad Mabrori]