LOGISTIKNEWS.ID – Pelaku usaha logistik menyikapi adanya pengaturan pembatasan operasional angkutan barang dan logistik saat Nataru, lantaran beleid yang tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga instansi tidak mengecualikan terhadap angkutan barang ekspor impor.
Ketua DPW Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) DKI Jakarta, Adil Karim menegaskan semestinya beleid (SKB) itu bisa lebih mengakomodir suara atau kepentingan dunia usaha (pelaku usaha logistik) supaya pergerakan ekspor-impor dan arus logistik dari dan ke Pelabuhan, Bandara hingga ke kawasan industri atau hinterland-nya tidak terhambat.
“Idealnya pelaku usaha logistik, termasuk pelaku di hinterland-nya (kawasan industri) dilibatkan dan dimintai masukannya dalam pengaturan angkutan barang saat Nataru agar tidak sampai menimbulkan hambatan ekonomi secara nasional,” ujar Adil Karim, kepada Logistiknews.id, pada Jumat (8/12/2023).
Seperti diketahui, SKB yang ditandatangani Dirjen Perhubungan Darat Kemenhub Hendro Sugiharto, Plt Kepala Korps Lalu Lintas Polri Brigjen Pol Aan Suhanan, dan Dirjen Bina Marga Hedy Rahadian, pada tanggal 5 Desember 2023, mengatur tentang Pengaturan Lalu Lintas Barang Serta Pemyeberangan Selama Arus Mudik dan Arus Balik Angkutan Natal 2023 dan Tahun Baru 2024 (Nataru).
Dalam beleid itu, hanya sejumlah komoditi yang dikecualikan atau tidak terkena pembatasan operasional /angkutan saat Nataru yakni untuk komoditi; bahan bakar minyak atau gas, hantaran uang, hewan ternak, pupuk, pakan ternak dan barang pokok (beras, gula, minyak sayur, garam, telur, susu, cabai dll).
“Semestinya angkutan ekspor impor jangan dibatasi dan dikasih ruang yang proporsional saat Nataru. Termasuk juga bagaimana mengatur jadwal pengangkutan yang proporsional untuk ke kawasan Industri atau hinterlandnya,” jelas Adil.
Dia mengatakan, kegiatan logistik bisa bergerak karena adanya aktivitas di hintetland atau industrinya.
Karenanya, ucap Adil, kegiatan di hinterland tersebut jangan sampai dibatasi pergerakannya, terutama yang terkait dengan pergerakan/ pengangkutan untuk bahan baku industri, barang jadi dan sejenisnya agar bisa tetap berproduksi.
Sedangkan disisi aktivitas pelabuhan juga akan berimbas pada barang impor yang semakin lama menumpuk di pelabuhan akibat minimnya trucking yang beroperasi saat Nataru. Akibatnya, kegiatan di importasi jalur merah juga bisa menumpuk dan akan terjadi peningkatan penyelesaian arus dokumen pasca Nataru di Bea Cukai Pelabuhan.
“Misalkan saja dari Wilayah Bekasi hingga Cikampek setidaknya kini terdapat 22 kawasan industri. Dan semua itu butuh kepastian agar produksinya tetap berlangsung. Kalau ada pembatasan terhadap pergerakan atau angkutan logistiknya, hal ini akan berpotensi berdampak pada kegiatan di pabrik/industri tersebut,” papar Adil.
Disisi lain, Adil juga mengingatkan bahwa perekonomian nasional saat ini masih dalam kondisi yang sedang tidak baik-baik saja ditengah isue geopolitik dan perkonomian global akibat konflik yang masih terjadi di Rusia – Ukraina dan Israel – Palestina.
Dia menegaskan bahwa aktivitas logistik itu urat nadi atau jantungnya kegiatan perekonomian. Sehingga kalau dibatas-batasi aktivitasnya tentu multiplier efeknya sangat luas ke perekonomian nasional.
“Disisi lain kelancaran arus barang terganggu, sehingga berpotensi meninbulkan high cost logistik,” ucap Adil.
Karena itu, ALFI DKI menyarankan meskipun sudah ada SKB sebagaimana tersebut, Pemerintah dan Instansi terkait bisa tetap memberikan ruang yang proporsional bagi angkutan logistik khususnya ekspor impor saat Nataru.
Seperti diberitakan sebelumnya, pengaturan operasional angkutan barang pada Nataru itu akan menyasar sejumlah kriteria armada antara lain; mobil Barang dengan Jumlah Berat Yang Diizinkan (JBI) lebih dari 14.000 kg, Mobil Barang dengan Sumbu 3 atau lebih, Mobil Barang dengan Kereta Tempelan, Mobil Barang dengan Kereta Gandengan, serta Mobil Barang yang digunakan untuk pengangkutan hasil galian (tanah, pasir, batu) maupun hasil tambang dan bangunan.
Adapun ruas Jalan Tol yang diatur untuk angkutan barang yakni; Bakauheni – Terbanggi Besar – Pematang Panggang – Kayu Agung; Jakarta – Tangerang – Merak; Prof. DR. Ir. Sedyatmo; Jakarta Outer Ring Road (JORR); Dalam Kota Jakarta; Jakarta – Bogor – Ciawi – Cigombong; Cigombong – Cibadak; Bekasi – Cawang – Kampung Melayu; Jakarta – Cikampek; dan Cikampek – Purwakarta – Padalarang –Cileunyi.
Selain itu, Cikampek – Palimanan – Kanci –Pejagan; Jakarta – Cikampek II Selatan (Fungsional); Cileunyi – Cimalaka; Cimalaka – Dawuan; Pejagan – Pemalang – Batang –
Semarang; Krapyak – Jatingaleh, (Semarang); Jatingaleh – Srondol, (Semarang); Jatingaleh – Muktiharjo, (Semarang); Semarang – Solo – Ngawi; Semarang – Demak; Jogja – Solo (Fungsional); Ngawi-Kertosono – Mojokerto – Surabaya – Gempol – Pasuruan – Probolinggo; Surabaya – Gresik; dan Pandaan – Malang.
Adapun ruas jalan non tol yang diatur yakni; Medan – Berastagi; Pematang Siantar – Parapat Simalungun – Porsea; Jambi – Sarolangun – Padang; Jambi – Tebo – Padang; Jambi – Sengeti – Padang; Padang – Bukit Tinggi; Jambi – Palembang – Lampung; Jakarta – Tangerang – Serang – Cilegon – Merak; Merak–Cilegon–Ling Sel Cilegon–Anyer–Labuhan; Jalan Raya Merdeka – Jalan Raya Gatot Subroto; Serang – Pandeglang – Labuhan; Jakarta–Bekasi–Cikampek–Pamanukan – Cirebon; dan Bandung – Nagreg – Tasikmalaya – Ciamis – Banjar.
Selain itu, Bandung – Sumedang – Majalengka; Bogor – Ciawi – Sukabumi – Cianjur; Cirebon – Brebes; Solo – Klaten – Yogyakarta; Brebes – Tegal – Pemalang – Pekalongan – Batang – Kendal – Semarang – Demak; Bawen – Magelang – Yogyakarta; dan Tegal – Purwokerto; Solo – Ngawi; Jogja – Wates; Jogja – Sleman – Magelang; Jogja – Wonosari; Jalur Jalan Lintas Selatan (jalan Daendeles); Pandaan – Malang; Probolinggo – Lumajang; Madiun – Caruban – Jombang; Banyuwangi – Jember; serta Denpasar – Gilimanuk.[redaksi@logistiknews.id]