LOGISTIKNEWS.ID – Tertahannya ribuan kontainer berisi barang impor sehingga menumpuk di pelabuhan Tanjung Priok Jakarta dan Tanjung Perak Surabaya, menjadi atensi kalangan masyarakat dan dunia usaha.
Ketua Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia( ALFI) M Akbar Djohan mengemukakan, terjadinya kasus seperti itu mengindikasikan adanya kebuntuan menyangkut ekosistem logistik atau rantai pasok/ supply chain dimana pelabuhan hanya merupakan salah satu entitas ditengah banyaknya entitas terkait dari sistem supply chain itu.
“Dalam supply chain, semua saling terkait dan terhubung seperti ‘rantai’ kalau ada yang rusak akan berimbas pada yang lainnya. Nah, karena kebetulan kontainer-kontainer itu faktanya berada di pelabuhan seolah-olah ‘penyebabnya’ di situ. Padahal dalam supply chain semuanya terkait satu sama lain. Jadi semua entitas didalamnya juga bertanggung jawab kalau ada hambatan dalam proses rangkaian supply chain tersebut,” ucap Akbar, kepada Logistiknews.id, pada Selasa (21/5/2024).
Akbar yang juga Kepala Badan Logistik dan Rantai Pasok KADIN Indonesia itu menegaskan, pembenahan dini untuk mengurangi hambatan di supply chain itu yakni peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) baik di pelaku usahanya maupun di regulator.
“Kalau pemahaman SDM regulator-nya kurang maka output regulasinya akan kontra produktif,” ujarnya.
Disisi lain, Akbar Djohan menegaskan bahwa pihak swasta (pelaku usaha) seperti agen kapal dan forwarder tentu tidak mesti beroperasi 24/7 seperti operasi pelabuhan yang memang tiap hari ada jadwal kapal yang masuk.
Namun untuk mengakomodir kepentingan stakeholder, bisa di optimalkan digitaliasi layamam seperti melalui sistem National Logistic Ecosystem atau NLE.
“Yang tak kalah penting adalah soal regulasi yang diterbitkan Pemerintah mesti dipastikan bahwa aturan-aturan tersebut harus dikordinasikan dengan seluruh pelaku usaha terkait. Sosialisasinya juga mesti mateng dan waktunya cukup sebelum di implementasikan,” paparnya.
Akbar menegaskan, untuk mengurai benang kusut yang masih terjadi pada sistem supply chain di Indonesia itu, ALFI maupun KADIN telah sejak lama mengusulkan agar dibentuk Badan Logistik Nasional yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Bukan Ulah Pelabuhan
Sebelumnya, Ketua Umum BPP Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI), Capt Subandi mengemukakan, Pemerintah perlu melibatkan pengguna jasa langsung melalui asosiasi terkait guna menyelesaikan berbagai persoalan kelancaran arus barang dan logistik impor.
Menurut Subandi, kerumitan proses importasi itu bukan terjadi di Pelabuhan tetapi di instansi atau lembaga terkait, atau entitas bisnis di luar pelabuhan.
Bahkan, ungkap Subandi, hingga kini masih ada diantaranya yang tidak melayani 24/7.
“Jadi yang tidak bekerja 24/7 itu bukan pelabuhan tapi instansi atau entitas bisnis di luar pelabuhan seperti keagenan pelayaran/kapal, serta beberapa operator depo empty, termasuk Kementrian yang terkait perizinan (Kemenperin, Kemendag, Kemenhub, Kemenkeu, Kementan dan beberapa lembaga),” ujarnya melalui keterangan resminya pada Minggu (19/5/2024).
Subandi menjelaskan, syarat importir bisa mengeluarkan atau mengambil kontainer di pelabuhan adalah harus memiliki DO (Delivery Order) yang di keluarkan keagenan kapal/shiping line.
Persyaratan tersebut bukan atas inisiatif pihak operator Pelabuhan melainkan syarat dari Pelayaran kepada Pelabuhan, sementara keagenan pelayaran (agen kapal) pada umumnya betoperasi atau kerja hanya dari Senin sampai Jum’at dan jam kerjanya belum 24/7.
Begitu juga dengan syarat importir untuk mengambil kontainer di pelabuhan harus memiliki Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB).
“Nah, SPPB ini yang mengeluarkan adalah Bea Cukai di pelabuhan setempat.Sebab, Bea Cukai mempersyaratkan kepada pelabuhan agar kontainer yang keluar pelabuhan harus telah mengantongi SPPB. Belum lagi soal ijin importasi yang harus diurus di Kementerian dan Lembaga,” ucap Capt Subandi.
Karenanya, Ketum GINSI meminta, Pemerintah jangan langsung menjustifikasi bahwa keruwetan-keruwetan importasi itu terjadi lantaran layanan di pelabuhan.
Semestinya, kata dia, Pemerintah mengajak dialog pelaku usaha importasi atau asosiasi yang mewadahinya supaya Pemerintah mendapatkan informasi yang benar soal itu.
Sebab, apabila informasi yang di dapat oleh Pejabat di Kementerian/Lembaga itu salah maka akan keliru mengambil kebijakan.
“Dan akhirnya bukan menyelesaikan masalah tetapi malah menambah masalah. Jadi para Menteri itu hendaknya jangan cuma dengar bisikan dari anak buah saja tanpa menanyakan pada pemilik barang langsung atau asosiasi yang menaungi persoalan importasi itu,” ucap Capt Subandi.
Relaksasi Impor
Sebelumnya Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan agar Kementerian/Lembaga terkait untuk ikut mendukung upaya percepatan penyelesaian permasalahan perizinan impor tersebut seperti mendorong percepatan penerbitan Persetujuan Impor dan percepatan penyelesaian Pertimbangan Teknis.
“Saya juga meminta seluruh jajaran Pelabuhan Bea Cukai yang ada di pelabuhan, Kepala Kantor Pelayanan Utama, Direktur Layanan Industri Sucofindo, Surveyor Indonesia, Pimpinan JICT untuk bekerja seperti kapal Saturday, Sunday, holiday included sehingga semua kerjaan 24 jam mengeluarkan barang 17 ribu sampai barang ini selesai. Arahan Bapak Presiden barang ini supaya segera dapat dikeluarkan,” ucap Menko Airlangga saat melakukan peninjauan langsung pemberlakuan kebijakan relaksasi impor di Jakarta International Container Terminal, Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Sabtu (18/5/2024).
Dia menyampaikan hal itu, merespons kendala dan hambatan yang dihadapi terkait dengan proses importasi barang saat ini, dan Pemerintah telah memutuskan untuk melakukan pengaturan kembali terhadap Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 jo. 3 Tahun 2024 jo. 7 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor, serta menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan yang menetapkan kembali Daftar Barang yang Terkena Larangan Pembatasan Impor.
Pasalnya, pengetatan impor dan penambahan persyaratan perizinan impor berupa Pertimbangan Teknis telah menimbulkan hambatan pada proses perizinan impor serta mengakibatkan terjadinya penumpukan kontainer di sejumlah pelabuhan utama, termasuk Pelabuhan Tanjung Priok.
Hingga saat ini, paling tidak terdapat 17.304 kontainer yang tertahan di Pelabuhan Tanjung Priok karena belum dapat mengajukan dokumen impor serta belum diterbitkan Persetujuan Impor dan Pertimbangan Teknis.
Adapun Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024 yang mulai diberlakukan mulai tanggal 17 Mei 2024 memuat sejumlah pokok-pokok kebijakan yang diantaranya yakni relaksasi perizinan impor terhadap 7 kelompok barang yang sebelumnya dilakukan pengetatan impor seperti elektronik, alas kaki, pakaian jadi, aksesoris, kosmetik dan perbekalan rumah tangga, tas, hingga katup.
YOR Kondusif
Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia (Peindo), Arif Suhartono menyatakan, pihaknya siap mendukung sepenuhnya percepatan proses pengeluaran petikemas dengan koordinasi bersama instansi/stakeholder kepelabuhanan.
Karenanya, Pelindo menyambut baik relaksasi aturan impor melalui penerbitan Permendag No 8 tahun 2024, berikut peraturan turunannya Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No 17 Tahun 2024.
Pelindo juga siap menjalankan arahan Menko Bidang Perekonomian dan Menteri Keuangan untuk bekerja 24/7 bersama-sama stakeholder di pelabuhan, guna percepatan pengeluaran petikemas.
Arif memastikan, bahwa penumpukan kontainer-kontainer itu tidak mengganggu operasional pelabuhan, baik di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta maupun Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya.
Pasalnya, ungkapnya, kondisi tingkat isian lapangan penumpukan atau Yard Occupancy Ratio (YOR) di seluruh terminal petikemas yang dikelola Pelindo sekarang ini masih kurang dari 60%.
“Sehingga operasional di dalam terminal peti kemas masih aman terkendali,” ujar Arif pada Senin (21/5/2024).
Berdasarkan data Pelindo pada April 2014, kondisi YOR untuk Jakarta International Container Terminal (JICT) yakni 51,61%, Terminal Peti Kemas Koja 43 %, New Priok Container Terminal One (NPCT1) 36%, dan di IPC TPK 51,75%.
Dirut Pelindo menegaskan, saat ini layanan terminal petikemas Pelindo telah berbasis integrated planning and control yang mampu mempercepat proses bongkar muat maupun identifikasi peti kemas.
“Selain itu, di beberapa terminal sudah menerapkan Terminal Booking System (TBS) dan identitas tunggal trucking atau single truck identification system (STID) untuk mengatur pergerakan truk pada saat receiving/delivery, dan mencegah kemacetan,” tegas Arif.[redaksi@logistiknews.id]