GPEI: Pemerintah Kudu Pangkas Tarif Layanan Kontainer Empty

  • Share

LOGISTIKNEWS.ID – Eksportir berharap pemerintah fokus mengevaluasi layanan sekaligus menurunkan tarif lift on-lift off (Lo-Lo) di fasilitas depo peti kemas kosong atau empty kontaner, yang menjadi penopang aktivitas pelabuhan.

Ketua Bidang Fasilitasi Perdagangan DPP Gabungan Perusahaan Eksport Indonesia (GPEI) Achmad Ridwan Tento mengemukakan, tarif Lo-Lo di depo empty justru jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan tarif Lo-Lo untuk full kontainer di terminal peti kemas atau lini satu pelabuhan. Bahkan selisihnya bisa sekitar Rp 300 ribuan/boks.

“Sehingga tarif Lo-Lo di depo empty, perlu di evaluasi karena struktur tarifnya kami nilai abu-abu,” ujarnya, pada Rabu (31/7/2024).

GPEI, imbuhnya, juga telah menyampaikan harapan tersebut saat Focus Group Discussion (FGD) Usaha Jasa Terkait di Perairan, Kegiatan Usaha Depo Peti Kemas, yang diselenggarakan Ditjen Perhubungan Laut Kemenhub, pada Selasa (30/7/2024).

“Kalau tarif empty kontainer di depo empty itu bisa ditekan lagi dari saat ini otomatis bisa menghemat triliunan rupiah pertahun dengan asumsi peti kemas empty untuk kebutuhan ekspor impor di pelabuhan utama Indonesia capai sekitar 11 juta TEUs pertahun,” ucapnya.

Untuk itu, ucap Ridwan, GPEI mengingatkan supaya Pemerintah konsen dalam upaya menekan biaya penanganan peti kemas empty itu, selain menghilangkan praktik rabat dari pelayaran asing terhadap operasional di depo empty.

Sebelumnya, hal senada juga diungkapkan Dewan Pemakai Jasa Angkutan Indonesia (Depalindo), yang menegaskan agar lokasi depo empty kontainer seharusnya dibawah pengawasan instansi kepabeanan dan cukai.

“Seharusnya lokasi depo empty kontainer berada dibawah Pengawasan Bea Cukai. Karena peti kemas adalah barang impor yang harus berada di bawah Pengawasan Bea Cukai,” ujar Ketua Umum Depalindo, Toto Dirgantoro saat di FGD itu juga.

FGD tersebut juga turut mengundang pihak Stranas PK, Ombudsman RI, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dan instansi terkait, serta sejumlah perusahaan depo peti kemas.

Selain itu mengundang; Asosiasi Depo Kontainer Indonesia (ASDEKI), Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI), Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI), dan Indonesia National Shipowners Association (INSA), Asosiasi Perusahaan Depo dan Pergudangan Indonesia (APDEPI).

Toto juga mempertanyakan bebanĀ  penumpukan kontainer empty yang menjadi tanggungan pemilik barang lantaran kontainer merupakan inventory perusahaan pelayaran atau shipping line.

“Jadi tidak selayaknya biaya penumpukan kontainer empty menjadi tanggungan pemilik barang. Hal ini dikarenakan kontainer adalah inventory Pelayaran jadi tidak selayaknya biaya penumpukan juga dimasukan kedalam tarif lift on-lif off (Lo-Lo) di depo empty,” ucap Toto.

Dia menegaskan, untuk besaran tarif Lo-Lo di fasilitas depo empty kontainer seharus nya dan seyogya-nya tidak lebih besar dari tarif Lo-Lo yang berlaku di Terminal atau lini satu pelabuhan.

Untuk itu, Depalindo mengusulkan perlunya pengawasan melekat terhadap aktivitas di depo empty supaya biaya-biaya yang muncul tidak membebani cost logistik nasional. Depalindo mengusulkan empat point dalam hal ini.

Pertama, perlu adanya Pengawasan terkait jam kerja 24/7 mengingat masih banyak depo empty kontainer yang tutup jam 16.00/17.00 WIB khusus nya di Belawan Sumatera Utara (Sumut).

Kedua, operasional depo empty kontainer seharusnya memiliki izin Amdal dan Lingkungan (Amdalin) yang diterbitkan instansi tehnis terkait.

Ketiga, perlu kejelasan dan ketegasan siapa (instansi atau kementerian) mana yang menerbitkan izin pendirian depo empty kontainer dan siapa yang berhak memberikan punishment-nya.

Keempat, kegiatan di depo empty kontainer memerlukan penyempurnaan dan transparansi pada struktur tarif-nya yakni dengan tidak memasukan biaya storage dll, tetapi hanya biaya Lo-Lo murni saja sesuai struktur Tarif Permenhub.[redaksi@logistiknews.id]

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *