LOGISTIKNEWS.ID – Sektor logistik menjadi tulang punggung pertumbuhan perekonomian nasional. Pasalnya, disaat masa sulitpun seperti ketika Pandemi Covid-19 yang melanda dunia, termasuk di Indonesia, sektor logistik mampu bertahan bahkan mencatat kinerja positif.
Ketua Umum DPW Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) DKI Jakarta, Adil Karim mengatakan, untuk itu pengembangan sektor logistik di Indonesia memerlukan perhatian khusus agar bisa terus menopang kinerja pertumbuhan ekonomi nasional.
“Apalagi, saat ini Pemerintahan Prabowo-Gibran telah menargetkan pertumbuhan ekonomi 8 persen. Dengan optimisme itu, maka sektor logistik di tanah air juga perlu di dorong agar lebih efisien sehingga berdaya saing global maupun lokal,” ujar Adil Karim, kepada Logistiknews.id, pada Senin (25/11/2024).
Sebagai wadah pelaku usaha logistik, imbuhnya, ALFI sangat mendukung jika biaya logistik nasional ditargetkan bisa turun menjadi 8 persen dari saat ini yang masih dikisaran 14,29 persen dari produk domestik bruto (PDB), guna mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang lebih efisien dan kompetitif.
Adil menyebutkan, untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi tersebut, diperlukan beberapa langkah progresif Pemerintah, antara lain; memacu tansformasi digital layanan logistik, upaya pengurangan biaya transportasi darat (diluar pelabuhan), maupun penguatan konektivitas serta peningkatan aksesibilitas antarwilayah untuk menunjang aktivitas logistik
“Kebijakan logistik nasional yang berorientasi kepada penurunan biaya rantai pasok dan logistik nasional juga tidak terlepas dari transportasi darat, pergudangan, sistem IT (informasi dan teknologi) yang mumpuni hingga kompetensi SDM-nya,” jelas Adil Karim.
Peneliti senior Tenggara Strategics Eva Novi Karina mengatakan, Pemerintah Indonesia perlu menurunkan biaya logistik di Indonesia, terutama pada sektor logistik darat, sebagai salah satu upaya mewujudkan target pertumbuhan ekonomi 8 persen.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh lembaga riset Tenggara Strategics yang dirilis pada Jumat, meskipun pemerintah telah berhasil menurunkan biaya logistik dari 23,08 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2018 menjadi 14,1 persen pada 2023, angka ini hanya mencerminkan biaya logistik domestik.
“Ketika memasukkan biaya logistik ekspor, yang berkontribusi sebesar 8,98 persen terhadap PDB, total biaya logistik Indonesia masih berada di angka 23,08 persen,” ujar Eva.
Menurut data dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas), pada 2022 biaya logistik domestik Indonesia mencapai 14,1 persen dari PDB, sedangkan biaya logistik ekspor berada di angka 8,98 persen dari PDB.
Dari total 14,1 persen tersebut, biaya logistik darat menyumbang sekitar 50 persen dari total biaya logistik domestik atau setara dengan 7 persen dari PDB.
Urgensi penurunan biaya logistik didorong oleh fakta bahwa tingginya biaya tersebut menjadi beban signifikan bagi sektor bisnis. Kenaikan biaya logistik secara langsung berkorelasi dengan peningkatan biaya bahan baku, produksi, dan transportasi, yang pada gilirannya mendorong kenaikan Indeks Harga Produsen (IHP).
Kondisi ini berdampak pada harga yang lebih tinggi bagi konsumen dan melemahkan daya saing Indonesia di pasar global.
Adapun perhitungan biaya logistik domestik yang ditetapkan Kementerian PPN, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, dan Badan Pusat Statistik (BPS) mencakup tiga komponen utama, yaitu biaya transportasi, biaya pergudangan dan penyimpanan, serta biaya administrasi.
Penelitian tersebut juga menyoroti tantangan lain dari sektor logistik di Indonesia, yakni kurangnya konektivitas antara berbagai moda transportasi. Disisi lain, konektivitas antara transportasi darat, laut, dan udara masih terfragmentasi, menyebabkan inefisiensi dalam proses distribusi barang.
“Padahal, integrasi antara moda transportasi sangat penting untuk memastikan kelancaran arus barang dengan transisi yang mulus dari satu moda ke moda lainnya, sehingga mempercepat distribusi dan menekan biaya,” ucap Eva.[am]