JAKARTA – Pelecehan seksual sering terjadi di tempat kerja khususnya dimana pekerja perempuan adalah minoritas.
Di industri pelayaran, hanya 9% perempuan di dunia yang bekerja dalam industri ini. Secara tradisional pekerjaan ini adalah “milik” laki-laki. Pelecehan seksual juga merupakan permasalahan yang serius di industri pelayaran.
Bayangkan berada pada situasi tersebut, mereka berada di suatu tempat di tengah laut dan tidak kita ketahui dimana lokasinya, tidak ada polisi atau tempat untuk menghindar maupun bentuk pertolongan lain.
Sebagai seorang perempuan, sudah menjadi salah satu resiko dalam melakukan pekerjaan, menjaga diri juga sekiranya penting namun menerima resiko atas hal yang terjadi dengan langkah-langkah kedepan yang perlu dilakukan menjadi sangat krusial.
Chandra Motik Yusuf, Ketua Umum Woman in Maritime Indonesia (WIMA-INA) mengemukakan, ada bebeberapa hal yang mungkin dapat menjadi proteksi diri jika terjadi pelecehan seksual, yaitu; Pertama, membuat catatan tentang kejadian pelecehan tersebut.
“Catat dengan teliti identitas pelaku, tempat kejadian, waktu, saksi dan yang dilakukan oleh pelaku serta ucapan-ucapan pelaku,” ujar Chandra melalui keterangan pers-nya pada Senin (15/3/2021).
Kedua, bicaralah pada orang lain. Ceritakan kepada teman sekerja, atasan, pengurus serikat pekerja atau siapa saja yang bisa dipercayai dan mau mengerti situasi yang sedang dihadapi.
Ketiga, memberi pelajaran kepada pelaku. Jika memungkinkan katakan kepada pelaku bahwa tindakannya tidak dapat diterima, hal ini dapat diucapkan verbal dengan kata-kata, melalui telepon atau surat. “Ajak seorang teman/rekan kerja untuk menjadi saksi,” ucapnya.
Keempat, melaporkan pelecehan seksual tersebut, karena pelecehan seksual melanggar hukum. Maka, sangat tepat jika pelecehan seksual segera dilaporkan ke polisi.
“Ini adalah perangkat hukum nasional yang relevan dengan pelecehan seksual,” paparnya.
Chandra Motik mengatakan, ada beberapa pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang dapat menjerat seseorang pelaku pelecehan seksual yakni; Perbuatan cabul pasal 289-296, Penghubungan pencabulan pasal 295-298 dan pasal 506.
Kemudian, Persetubuhan dengan wanita di bawah umur pasal 286-288 Undang-Undang Hak Asasi Manusia No. 39/1999 yang menyatakan dengan tegas bahwa setiap manusia memiliki hak dan martabat yang sama dan sederajat, berhak atas jaminan dan perlindungan hak asasi manusia tanpa diskriminasi.
Selain itu, diatur juga melalui Konvensi tentang Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW: Convention on Elimination Discrimination Against Women), 1979.
Konvensi ini merupakan perjanjian internasional yang paling komprehensif dan menetapkan keajiban hukum yang mengikat untuk mengakhiri diskriminasi terhadap perempuan. Konvensi ini juga menetapkan persamaan kesempatan perempuan dan laki-laki untuk menikmati hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Indonesia telah meratifikasi (mengesahkan) konvensi ini melalui UU No. 7/1984.
Pelecehan seksual ini, bukan hanya menjadi tanggung jawab perorangan, lebih dari itu semua, sebagai seorang manusia yang memiliki hati nurani sudah selayaknya dari aspek manapun mempunyai andil dalam pemberantasan pelecehan seksual tersebut.
WIMA-INA meneyampaikan hal itu sekaligus menyikapi prihal kasus dugaan perbuatan cabul yang dilakukan oleh Kapten Kapal terhadap seorang kadet perempuan di kapal Tongkang TB KSA 64 yang terjadi juga bukanlah untuk pertama kalinya.
Menurut Chandra, sudah sepatutnya baik dari Asosiasi Nakhoda, Kesatuan Pelaut Indonesia maupun Organisasi Pengusaha Perusahaan Pelayaran bekerjasama melawan pelecehan seksual yang kerap terjadi diatas kapal.
“Juga perlu pembekalan edukasi etika profesi terhadap setiap Pelaut dalam pangkat dan jabatan apapun, serta memberikan teguran bahkan sanksi keras terhadap oknum-oknum yang melakukan hal-hal tercela seperti itu,” ujar Chandra Motik.(Lognews)