LOGISTIKNEWS.ID – Kadin DKI dan GINSI mengaku prihatin jika ratusan karyawan tempat penimbunan sementara peti kemas (TPS) di pelabuhan Tanjung Priok, terpaksa terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Hal itu imbas tidak optimalnya produktivitas di fasilitas TPS yang menjadi buffer kawasan pabean pelabuhan Tanjung Priok dalam kegiatan pindah lokasi penumpukan atau overbrengen peti kemas impor.
“Ya prihatin kalau hal itu (PHK) benar-benar terjadi, karena akan berdampak pada bertambahnya pengangguran. Padahal pelabuhan Priok sebagai pelabuhan tersibuk di Indonesia semestinya bisa memberikan manfaat ekonomi yang lebih besar, termasuk menumbuhkan lapangan kerja bagi sektor swasta,” ujar Wakil Ketua Umum BPP Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Erwin Taufan, kepada logistiknews.id, pada Senin (31/7/2023).
Kekhawatiran adanya PHK massal tersebut, disebut-sebut lantaran tidak optimalnya implementasi dan pengawasan atas regulasi yang sudah diamanatkan melalui Peraturan Menteri Perhubungan (PM) No: 116 Tahun 2016 tentang Pemindahan Barang yang Melewati Batas Waktu Penumpukan di Pelabuhan Tanjung Priok.
“Sebaiknya pemerintah bisa mencari solusinya yang terbaik merespon masalah ini,” ucap Taufan.
Hal senada diungkapkan Wakil Ketua Umum Bidang Transportasi, Logistik dan Kepelabuhanan Kadin DKI Jakarta, Widijanto..
Dia mengaku prihatin dengan kondisi tersebut, apalagi jika berimbas pada potensi PHK massal para pekerja swasta yang selama ini menggantungkan nasibnya dari aktivitas di pelabuhan tersibuk di Indonesia itu.
“Semoga saja PHK massal yang dikhawatirkan itu tidak terjadi, makanya perlu duduk bersama mencari solusi masalah tersebut dengan kepala dingin,” ucap Widijanto.
Sebagaima diketahui, peran TPS berkontribusi dalam penurunan dwelling time dan kelancaran arus barang di pelabuhan Tanjung Priok.
Kini terdapat 11 perusahaan TPS swasta yang menjadi buffer kawasan pabean pelabuhan Tanjung Priok, yang mengantongi perizinan operasional dari Kementerian Keuangan.
Jika masing-masing TPS itu diasumsikan mempekerjakan 50-100 pekerja, setidaknya ada 500-an lebih pekerja yang menggantungkan hidupnya dari sektor usaha itu.
Widijanto maupun Taufan menilai, potensi terjadinya PHK massal di sektor usaha itu, juga kontraproduktif dengan program Pemerintahan saat ini yang sedang terus mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan perluasan atau penciptaan lapangan kerja▪︎ [redaksi@logistiknews.id]