LOGISTIKNEWS.ID – Sejumlah isu menjadi sorotan redaksi sepanjang pekan lalu (23-29 Juni 2024) yang mendapat perhatian pembaca redaksi Logistiknews.id. Berikut selengkapnya.
Layanan ‘Halal’ Logistik Pangan
Pegiat dan praktisi logistik mendukung kewajiban sertifikasi halal pada layanan logistik komoditi makanan dan minuman (pangan) mulai Oktober 2024 mendatang.
Hal itu sesuai Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH).
Namun proses atau birokrasi untuk bisa comply pada persyaratan tersebut jangan sampai memberatkan pelaku usaha disektor logistik wabilkhusus yang termasuk kategori usaha mikro kecil dan menengah atau UMKM.
“Pelaku logistik nasional mesti siap dalam hal mematuhi regulasi layanan Logistik Halal komoditi Pangan ini. Sebab jika tidak siap, maka kita akan tergerus oleh yang besar-besar itu (multinasional) yang sudah banyak masuk ke Indonesia,” ujar Ketua Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Mahendra Rianto, kepada Logistiknews.id, pada Rabu (26/6/2024).
Menurutnya, jika perusahaan logistik nasional tak mampu beradaptasi dengan beleid itu, maka peluang bisnis layanan Logistik Pangan tersebut berpotensi dikuasai pemain besar atau asing.
“Namun untuk UMKM mesti diberi keringanan. Pemerintah bantulah atau subsidilah mereka dalam hal ini,” harap Mahendra.
Dia mengilustrasikan, di sejumlah negara seperti Jepang, Thailand dan Malaysia, meskipun belum ada regulasi resmi soal ‘Layanan Halal’ dari Pemerintahnya namun implementasinya kini sudah berjalan masif.
“Di Jepang sudah buat Halal Tourism, sedangkan di Thailand mendeklair Halal Hub Logistik, dan Malaysia Halal Logistik untuk layanan Middle East (timur tengah). Namun, meski di negara tersebut layanan itu belum dimandatorikan melalui UU tetapi bisa dijalankan karena melihat potensi market dan permintaan (demand) yang terus tumbuh,” ucap Mahendra.
Jika Indonesia mengimlementasikan hal yang sama untuk layanan logistik halal komoditi pangan, maka potensi market lokal maupun global bisa diraih apalagi cukup banyak ekspor komoditi pangan dari Indonesia.
Mahendra mengungkapkan, disisi lain bahwa Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) telah berlaku 10 tahun terakhir, namun cenderung tidak bisa optimal.
Karenanya, imbuhnya, diperlukan komitmen dan ketegasan Pemerintah mengawasi implementasinya, apalagi kalangan investor juga menanyakan standard-nya seperti apa inplementasi beleid itu.
“Pemerintah mesti tegas dan menyosialisasikan secara masif tentang pentingnya produk halal dan turunannya serta layanan logistik halal komoditi Pangan tersebut. Lembaga apapun yang ditugasi mengawasinya mesti fairnes dalam implementasinya di lapangan. Dan kalau bisa, untuk memperoleh sertifikasi halal bagi perusahaan logistik nasional itu mesti berbiaya murah atau terjangkau,” papar Mahendra.
Dia menceritakan sudah cukup banyak menerima laporan dari perusahaan logistik (transportasi/trucking maupun warehouse) yang tidak dipilih oleh mitranya dalam hal ini pemilik barang ataupun pabrikan yang telah comply sertifikasi halal komoditi pangan.
“Hal itu lantaran perusahaan logistik itu belum comply layanan logistik halal untuk komoditi pangan. Padahal dalam supply chain, jika kita bicara layanan halal maka semua terintegrasi mulai dari hulu ke hilirnya, atau mulai proses produksi (industri), packaging, gudang hingga alat transportasi (pendistribusiannya),” jelasnya.
Mulai Oktober 2024
Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI), menyatakan kegiatan jasa logistik yang berhubungan dengan komoditi makanan dan minuman (pangan) wajib tersertifikasi Halal pada Oktober 2024.
Direktur Utama LPPOM-MUI, Muti Arintawati menegaskan kedepannya, kewajiban sertifikasi halal di berbagai sektor, dari hulu ke hilir, tidak hanya pada makanan dan minuman saja.
“Namun untuk kegiatan jasa atau perusahaan logistik yang berkegiatan terkait penanganan makanan dan minuman, mesti comply dengan sertifikasi halal mulai Oktober 2024,” ujar Muti kepada Logistiknews.id, pada Rabu (26/6/2024).
Sertifikasi halal itu tidak hanya makanannya saja tetapi juga bahan baku maupun bahan penolong hingga kemasan yang kontak langsung dengan makanan tersebut.
Bahkan, imbuhnya, jasa logistik yang mendistribusikan bahan pangan pun itu seharusnya tersertifikasi halal. Sebab jasa logistik seharusnya menjamin bahwa produk yang dikirim tidak dicampuradukkan dengan bahan non-halal.
Sedangkan, jasa logistik termasuk kategori yang wajib melakukan sertifikasi halal karena menjadi bagian dari rantai pasok suatu barang. Kewajiban ini sebagaimana telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH).
“Jadi, kewajiban sertifikasi halal terhadap jasa logistik penahapannya mengikuti produk yang ditangani,” ucap Muti.
Gencarkan Edukasi
Sementara itu, edukasi mengenai kewajiban comply terhadap sertifikasi layanan halal pada kegiatan logistik komoditi makanan dan minuman (pangan) perlu dilakukan secara masif dan terus menerus.
Hal tersebut demi meminimalisir mispersepsi karena kurangnya informasi mengenai layanan ‘halal logistik’ serta menyangkut kendala budget yang kerap kali dipertanyakan pelaku usaha logistik untuk mematuhi kewajiban yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
“Karenanya, kita harus gencar melakukan edukasi ke semua lini, termasuk ke kalangan pengusaha logistik, komunitasnya, bahkan ke lembaga pendidikan maupun kampus-kampus logistik, dalam rangka mengkampanyekan pentingnya layanan logistik ‘Halal’ untuk pangan tersebut,” ujar Ketua Umum Asosiasi Halal Logistik Indonesia (AHLI), Rizki Eri Utomo, kepada Logistiknews.id, pada Jumat (28/6/2024).
Dia mengatakan, dengan dukungan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal dan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), AHLI yang berisi unsur pengusaha dan pelaku logistik, dosen maupun konsultan, akan konsisten melakukan sosialisasi kewajiban ‘Halal Logistik’ tersebut.
“Kami akan terus lakukan ini (sosialisasi). Dan sekarang ini kami lebih fokus membantu percepatan perusahaan yang butuh sertifikasi halal logistik,” ucap Rizki.
Dia menjelaskan, AHLI terbentuk guna membantu pemerintah dalam mengakselerasi implementasi layanan logistik halal tersebut.
Adapun Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) merupakan salah satu unsur pendukung di Kementerian Agama RI yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Agama yang bertugas melaksanakan penyelenggaraan jaminan produk halal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan LPH merupakan lembaga yang bertugas untuk melakukan kegiatan pemeriksaan dan atau pengujian terhadap kehalalan Produk termasuk penugasan terhadap auditor halal.
“Bahkan dari dulu (sejak sebelum AHLI terbentuk), sosialisasi terhadap aturan tersebut juga sudah kami lakukan,” paparnya.
Tanpa komitmen bersama untuk percepatan-nya, proses halal logistik akan sangat lama. Apalagi hingga kini tidak ada data resmi berapa banyak perusahaan yang sudah comply dengan beleid ‘Halal Logistik’ sesuai UU No 33/2014 itu.
“Hanya yang kami ketahui, jumlah perusahaan yang sudah comply tidak sampai 100 perusahaan. Jumlah ini, masih minim sekali,” ujarnya.
Untuk itu, imbuhnya, AHLI akan melakukan road show ke sejumlah daerah di Indonesia untuk mengedukasi pentingnya layanan logistik halal untuk komoditi pangan.
“Saat ini kita masih fokus di DKI Jakarta, namun kedepan akan ke daerah-daerah lainnya,” ujar Rizki yang juga bergelut di PT Cakra Citra Nusantara.
Optimalkan National Logistic Ecosystem
Wakil Ketua Umum bidang Transportasi dan Logistik BPP Gabungan Importir Nasional Indonesia (GINSI) Erwin Taufan, mengemukakan kegiatan Perdagangan antara negara dan Foreign Direct Investment (FDI) menjadi hal penting karena perannya sebagai instrumen untuk pertumbuhan ekonomi.
Hal ini juga memungkinkan suatu negara mengonsumsi jasa yang lebih murah berdasarkan keunggulan komparatifnya serta meningkatkan potensi pada biaya logistik yang rendah, waktu transportasi makin singkat, serta penambahan peluang kerja ataupun pertumbuhan dunia bisnis.
Taufan menegaskan, implementasi National Logistic Ecosystem (NLE) secara konsisten menjadi solutif mengurai benang kusut kendala arus barang dan logistik saat ini.
“Demi menyukseskan NLE juga perlu kolaborasi antar pebisnis dengan melibatkan semua pemangku kepentingan di sektor industri tersebut,” ucap Taufan pada Jumat (28/6/2024).
Disisi lain, kata dia, efisiensi waktu pengiriman (delivery) kargo mendorong produktivitas dunia usaha yang berpengaruh positif pada daya saing nasional. Alhasil, kombinasi produktivitas dan daya saing, juga mendorong tumbuhnya perekonomian.
Kinerja ekonomi nasional juga didorong oleh leading sectors, seperti Industri, Perdagangan, Pertanian, Pertambangan, hingga Konstruksi.
Adapun lapangan usaha industri, tercatat masih memberikan kontribusi terbesar dibandingkan lapangan usaha lainnya.
“Dalam kondisi itu inline dengan komposisi impor nasional yang masih didominasi bahan baku penolong. Alhasil, proses logistik berupa kelancaran pasokan bahan baku maupun hasil produksinya harus maksimal,” ucap Taufan.
Namun sayangnya, hingga kini, kinerja logistik nasional memang belum berada di posisi yang ideal.
Pasalnya, World Bank atau Bank Dunia merilis Logistics Performance Index (LPI) Indonesia pada 2023, di peringkat 63 dengan nilai 3.0. Biaya logistik nasional pun masih tergolong tinggi, yaitu 14,29 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Dia mengatakan, penguatan konektivitas dan transportasi serta infrastruktur teknologi dan informasi atau TIK memiliki kaitan erat dengan kinerja logistik.
Kemudian, pembangunan jalan, jembatan, bandara, dan pelabuhan diperkuat dengan penyediaan titik akses internet hingga Digital Broadcasting System (DBS).
“Semestinya, pembangunan infrastruktur tersebut dapat dimaksimalkan dengan pelaksanaan National Logistics Ecosystem (NLE),” paparnya.
Sebab, kata Taufan, NLE menjadi salah satu langkah strategis pemerintah dalam menghadapi tantangan kinerja logistik sebagaimana Instruksi Presiden nomor 5 tahun 2020.
NLE merupakan sebuah platform digital layanan logistik hulu ke hilir dengan kolaborasi Kementerian/Lembaga (K/L), perusahaan terkait, serta pelaku logistik.
Kolaborasi digital dalam satu platform (NLE), juga akan memastikan kelancaran pergerakan arus barang ekspor dan impor, maupun pergerakan arus barang domestik, baik antardaerah dalam satu pulau, maupun antar pulau.
Selain itu, NLE berfungsi untuk menyederhanakan proses bisnis layanan pemerintah di bidang logistik, mengkolaborasikan sistem layanan logistik swasta baik domestik maupun internasional, memudahkan transaksi pembayaran penerimaan negara dan fasilitasi pembayaran antar pelaku usaha logistik, dan penataan tata ruang pelabuhan dan jalur distribusi barang.
Terobosan NLE berupa layanan Sistem Pelayanan Online Satu Pintu alias Single Submission (SSm), yang terus dikembangkan oleh Lembaga National Single Window (LNSW). Layanan seperti SSm Pengangkut, SSm Perizinan, dan Single Submission Quarantine Customs (SSm QC/SSm Pabean Karantina) berhasil memangkas tahapan proses bisnis, mengurangi proses repetisi dan duplikasi dengan satu kali submission, serta mempermudah pengurusan layanan logistik pemerintahan.
“Sebab, dengan memanfaatkan NLE, pelaku usaha tidak perlu lagi mendatangi masing-masing K/L untuk menanyakan regulasi, proses, dan persyaratan kemudahan berbisnis,” ucap Taufan.
Singkatnya, kata dia, tujuan pembangunan NLE adalah agar proses melakukan bisnis di Indonesia makin kompetitif, baik dari segi waktu, simplifikasi, kecepatan, dan pada akhirnya dari segi biaya.
“Makanya, implementasi NLE itu mesti bisa terus di optimalkan,” sergah Taufan.[redaksi@logistiknews.id]