Biaya Comply Sertifikasi ‘Logistik Halal’ Dianggap Mahal, Ini Respon LPPOM-MUI

  • Share
sumber: KNEKS/BPJPH

LOGISTIKNEWS.ID – Biaya untuk comply sertifikasi halal terhadap perusahaan jasa logistik yang menghandle produk makanan dan minuman (pangan) maupun obat-obatan dan kosmetika, dinilai masih memberatkan pelaku usaha.

Karenanya, sejumlah kalangan pelaku usaha logistik mendesak Pemerintah agar BPJPH maupun LPPOM-MUI, bisa mengkaji ulang besaran biaya tersebut.

Disisi lain, kegiatan jasa logistik yang berhubungan dengan komoditi makanan dan minuman (pangan) maupun obat-obatan dan kosmetika wajib tersertifikasi halal pada 17 Oktober 2024.

Menanggapi hal itu, Direktur Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI), Muti Arintawati mengatakan, komponen dan besaran tarif tersebut merujuk pada SK 141/2021 Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama (Kemenag).

Selain Surat Keputusan No 141/2021, juga ada 3 keputusan berikutnya terkait tarif tersebut yakni SK No.83/2022, SK No. 14/2024 , dan SK No.22/2024.

Ketentuan Tarif itu berdasarkan klasifikasi tarif pemeriksaan yang ditetapkan berdasarkan indikator lamanya waktu/ proses audit, serta tarif badan layanan umum atau BLU yang terdiri atas tiga kriteria skala layanan; yakni untuk kategori perusahaan kecil (UMKM) sebesar Rp 300 ribu; Menengah (Rp 5 juta) dan Besar (Rp 12,5 juta).

“Namun pelaku usaha sektor logistik yang keberatan dengan biaya untuk sertifikasi halal tersebut dapat mengajukan keringanan atau proses discount tertentu kepada Departemen Nasional Halal Partnership (NHP) LPPOM-MUI,” ujar Muti kepada Logistiknews.id, melalui sambungan telpon selulernya pada Jumat (4/10/2024).

Dia mengilustrasikan, proses atau lamanya waktu audit terhadap perusahan yang memiliki trucking 10 unit dengan hanya satu cabang area kegiatan, tidak mungkin sama dengan yang memiliki 50 atau bahkan 100 lebih armada truk, apalagi area cabang kegiatannya juga berada di banyak tempat.

“Jadi semua tergantung size usahanya (berbeda-beda). Ada berapa banyak fasilitas produksinya yang dimilikinya ?, sehingga inipun memengaruhi waktu atau proses auditnya,” tegas Muti.

Disisi lain, dia juga tidak menampik jika saat ini marak biro jasa atau konsultan pihak ketiga yang menggarap layanan untuk mengurus sertifikasi halal logistik, lantaran aturan ini dianggap sebagai lahan bisnis baru.

“Namun kami pastikan mereka-mereka itu (pihak ketiga) tidak ada hubungannya dengan LPPOM-MUI,” tegas Muti.

Value Added

Sementara itu, Dewan Pakar Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) yang juga Anggota Tim Penguji Pedoman Teknis Sertifikasi Halal BPJPH serta aktif di Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS), Nofrisel mengatakan skala ekonomi perusahaan logistik berbeda-beda untuk bisa comply dengan sertifikasi halal.

Menurutnya, sertifikasi halal semestinya menjadi value added bagi perusahaan logistik untuk bisa memperluas market share nya.

“Namun kita sepakat bahwa untuk bisa comply dengan aturan itu jangan menimbulkan cost yang besar,” ujar Nofrisel.

Diapun menganggap hal yang wajar jika ketentuan sertifikasi logistik halal hingga masih alami pro dan kontra. Dan hal ini sangat dinamis untuk menghasilkan petunjuk pelaksanaanya yang lebih akomodatif dengan pedoman tehnisnya yang lebih mumpuni.

Bahkan, ungkapnya, pada Kamis (3/10/2024), KNEKS telah menyelenggarakan diskusi di Jakarta untuk menerima masukan stakeholders dan asosiasi pelaku usaha, terkait hal itu.

“Dalam diskusi itu mengemuka bahwa sertifikasi logistik halal; jangan sampai memberatkan cost perusahan. Karenanya, perlu pematangan-pematangan tehnisnya sebelum di implementasikan,” ucap Nofrisel.

Nofrisel menjelaskan, berdasarkan data BPJPH, hingga September 2024 sebanyak 825 perusahaan jasa logistik sudah comply dengan sertifikasi halal.

Adapun rinciannya yakni 97 perusahaan jasa penyimpanan, 39 perusahaan jasa pengemasan, dan 689 jasa pendistribusian.

Dalam rantai pasok produk halal, peran jasa logistik sangatlah krusial. Jasa logistik bertanggung jawab atas penyimpanan, pengemasan, dan pengiriman (distribusi) produknya dari produsen ke konsumen.

Keterlibatan jasa logistik dalam rantai pasok ini menjadikannya bagian tak terpisahkan dalam menjaga kehalalan produk.

Namun, pengusaha truk yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) menolak program sertifikasi ‘halal logistik’ itu, sebagaimana yang dituangkan dalam hasil Rakernas Asosiasi itu baru-baru ini.

Cluster Logistik

Sebelumnya, Pengamat Kemaritiman, Transportasi & Logistik dari Indonesia Logistic and Transportation Watch (IMLOW), Achmad Ridwan Tentowi, mengatakan, kegiatan pada jasa distribusi, merupakan salah satu mata rantai logistik atau supply chain.

Dia mengatakan, pada umumnya aktivitas jasa distribusi barang atau logistik dalam volume tertentu dilakukan dengan berbagai moda, seperti truk, kereta api (KA), shipping maupun air cargo.

Karenanya, IMLOW berpandangan, bahwa kewajiban ‘sertifikasi halal’ pada jasa distribusi logistik pangan merupakan program terukur sebagai upaya Pemerintah Indonesia guna menjamin beredarnya produk halal guna perlindungan mayoritas masyarakat muslim Indonesia saat ini.

Adapun jaminan terhadap kehalalan suatu produk yang beredar di dalam negeri, juga telah diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH).

“UU-nya saja sudah 10 tahun diterbitkan. Jadi, kita perlu apresiasi Pemerintah Indonesia yang komitmen ingin menjalankan beleid itu secara konsekwen. Harapannya juga, supaya efektif pada implementasinya disertai pengawasan ketat dan ada punishment bagi yang melanggar,” ujar Ridwan, kepada Logistiknews.id.

Disisi lain, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama (Kemenag), juga memastikan bahwa kewajiban sertifikasi halal diberlakukan sesuai ketentuan regulasi Jaminan Produk Halal (JPH) bagi sejumlah jenis produk yang mencakup barang dan jasa.

Adapun sektor jasa yang dikenai kewajiban bersertifikat halal antara lain jasa penyembelihan, jasa pengolahan, jasa penyimpanan, jasa pengemasan, jasa pendistribusian, jasa penjualan dan jasa penyajian. Ketujuh macam jasa tersebut juga hanya dikenakan kewajiban sertifikasi halal jika diperuntukkan bagi makanan, minuman, obat dan kosmetik.

Ketentuan ini diatur di dalam PP 39/2021 maupun di dalam Keputusan Kepala BPJPH Nomor 20 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Keputusan Kepala BPJPH Nomor 57 Tahun 2021 tentang Kriteria Sistem Jaminan Produk Halal.

Regulasi ini mengatur bahwa pelaku usaha wajib memisahkan lokasi, tempat dan alat yang digunakan dalam menjalankan Proses Produk Halal yang meliputi proses penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian.

Ridwan menyarankan, untuk memperjelas cluster logistik dan market share-nya, perusahaan jasa distribusi logistik yang menggeluti pengangkutan produk pangan untuk segera comply sertifikasi halal sebagaimana regulasi yang ada.

“Apalagi, regulasi mengenai hal itu kan sudah cukup lama dan telah seringkali disosialisasikan oleh Pemerintah kepada stakeholders-nya” ucapnya.

IMLOW menilai program sertifikasi logistik halal, akan dengan sendirinya menyeleksi market share bagi perusahaan-perusahaan jasa logistik yang berkecimpung pada produk pangan.

“Misalkan, jika ada industri atau produsen pangan yang pada praktiknya menginginkan jaminan kegiatan distribusinya oleh angkutan darat (misalnya trucking) yang telah tersetifikasi halal, itu hal yang wajar karena telah diamanatkan melalui regulasi. Jadi nanti bagi jasa logistik yang gak siap, kemungkinan kehilangan pangsa pasarnya di jasa tersebut,” paparnya.[redaksi@logistiknews.id]

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *