ALFI Institute Soroti Target Pertumbuhan Ekonomi 2025, Pasca Rilis IMF

  • Share
Yukki Nugrahawan Hanafi

LOGISTIKNEWS.ID – Meskipun International Monitary Fund (IMF) memproyeksikan revisi pertumbuhan ekonomi tahun 2025 pada kisaran 4,7% dibanding sebelumnya 5,1%, tetapi dengan optimistis dan realistis bahwa pertumbuhan masih dapat mencapai kisaran 5%.

Kendati pada kuartal-I 2025 terlihat tanda-tanda perlambatan, namun beberapa indikator perekonomian domestik masih tetap terjaga, serta negosiasi tarif antara Amerika Serikat (AS) dengan berbagai negara lain termasuk Indonesia dan China juga sudah berlangsung.

Hal tersebut dikemukakan Chairman Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Institute, Yukki Nugrahawan Hanafi, pada Jumat (2/5/2025).

Dia meenegaskan, secara domestik sepanjang kuartal-I 2025, indikator perekonomian nasional masih terjaga meskipun ditengah ketidakpastian  eksternal atau global.

Pertama, neraca pembayaran (NPI) masih mencatatkan surplus USD4,3 miliar dengan Cadangan Devisa (Cadev) berkisar pada USD157,1 miliar (setara 6,7 bulan impor).

Kedua, meskipun sempat tertekan, nilai tukar Rupiah masih terjaga pada level Rp 16.855 dengan potensi penguatan hingga Rp16.500 ditengah pelemahan nilaitukar USD.

Ketiga, tingkat inflasi inti masih terjaga pada angka 2,48% secara year on year (yoy), yang menjadi indikasi bahwa konsumsi domestik nasional masih tetap terjaga.

Secara eksternal, imbuh Yukki, dapat diakui bahwa tarif resiprokal yang diberlakukan AS berdampak pada pertumbuhan ekonomi nasional, dimana menurut Kemenkeu berpotensi memangkas 0,5% dari pertumbuhan ekonomi nasional.

Namun jika dilihat secara detail, dampak perang dagang juga memberikan efek positif untuk pemerintah mendorong deregulasi aturan yang meningkatkan kemudahan berusaha dan tingkat kompetitif industri nasional, serta membuka pasar-pasar perdagangan baru yang lebih luas.

Pemerintah Agar Responsif

Melihat tantangan eksternal dan domestik, Yukki melihat ‘worse situation’ tahun 2025 sebenarnya sudah mulai dapat diukur dampaknya dengan adanya negosiasi tarif berbaga negara dunia dengan AS, khususnya China dan Uni Eropa.

Namun, kata Yukki, Pemerintah harus merespons dengan tanggap dan bijak agar dapat menjaga pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap stabil pada angka 5%, khususnya melalui kebijakan fiskal dan moneter, serta menopang konsumsi domestik.

Yukki mengatakan, setidaknya respon itu dapat dilakukan melalui beberapa langkah. Pertama, alokasi stimulus fiskal dan kemudahan bagi dunia usaha khususnya yang terdampak akibat tarif resiprokal.

“Pada saat yang bersamaan, evaluasi kebijakan fiskal pada program pemerintah perlu lebih adaptif sehingga belanja pemerintah pun juga dapat ditingkatkan untuk menstimulus permintaan domestik,” ujarnya.

Kedua, melihat pelemahan USD secara global, pemerintah perlu mulai mempertimbangkan penurunan suku bunga Bank Indonesia sehingga menggeliatkan dunia usaha untuk mulai bergejolak kembali.

Ketiga, dikarenakan negosiasi tarif resiprokal akan mengubah struktur perdagangan internasional, maka pemerintah perlu menangkap potensi pertumbuhan relokasi berbagai perusahaan dari Tiongkok dan Vietnam (yang secara tarif dikenakan lebih tinggi dibandingkan Indonesia) dengan memastikan kemudahan berinvestasi dan berusaha. Faktor kepastian hukum dan regulasi, keamanan dari bahaya premanisme, dan SDM yang stabil dan cakap akan meningkatkan daya tawar Indonesia.

Keempat, Pemerintah harus menjaga daya beli dan mendorong konsumsi domestik. Menyediakan stimulus bagi peningkatan belanja konsumen untuk mendorong masyarakat kelas menengah berbelanja di UMKM, penciptaan lapangan kerja baru melalui stimulus pada sektor-sektor yang memiliki efek pengganda tinggi, seperti manufaktur, makanan dan minuman, teknologi, serta UMKM, dan menyediakan subsidi atau insentif pajak penghasilan bagi masyarakat kelas menengah.

“Kelas menengah perlu mendapatkan perhatian untuk menopang daya beli mereka sebagai katalisator konsumsi domestik,” ucap Yukki.

Kelima, ALFI Institute secara spesifik menggarisbawahi bahwa sektor transportasi logistik masih tetap menjadi tulang punggung yang ikut mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

Kinerja Logistik

Berdasarkan data BPS tahun 2023, sektor transportasi dan pergudangan tumbuh hingga 13,96% dan berkontribusi hingga Rp 1.000 triliun terhadap PDB Indonesia. Terbaru, data investasi kuarta pertama (Q1) tahun ini yang dirilis Badan Kordinasi Penanaman Modal/BKPM menunjukan bahwa sektor transportasi, gudang, dan telekomunikasi menjadi sektor kedua terbesar yang berkontribusi pada realisasi investasi sebesar Rp 66,5 Triliun atau 14,3% dari total realisasi investasi.

“Dengan tingginya kontribusi realisasi investasi sektor logistik, maka dukungan akan optimalisasi dan efisiensi sektor transportasi dan logistik tetap perlu menjadi fokus perhatian pemerintah,” jelas Yukki.

Sebab, tandas Yukki, meskipun berkontribusi besar terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia, namun tingkat kinerja logistik Indonesia berada di peringkat 63 dari 139 negara, masih di bawah Singapura (1), Malaysia (26), Thailand (34), Filipina (43), dan Vietnam (43).

Untuk itu, ujar Yukki, Pemerintah perlu mendukung agar momentum pembangunan infrastruktur, digitalisasi, dan penyederhanaan regulasi pada sektor transportasi dan logistik dapat terus mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.

Hal ini penting untuk dilakukan agar dapat mendorong integrasi Indonesia dalam konektivitas perdagangan internasional.

“Terlebih, dengan penerapan tarif resiprokal saat ini juga dapat menjadi peluang bagi Indonesia untuk semakin terintegrasi pada global value chain,” jelas Yukki.[am]

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *