JAKARTA – Operator pelayaran jalur utama atau main line operator (MLO), tetap eksis meskipun harus tetap mengikuti protokol kesehatan dalam kegiatan operasionalnya untuk mengurangi penyebaran COVID-19.
Bahkan sebagian pekerjanya hingga kini diketahui masih harus tetap bekerja dari rumah atau working from home (WFH).
Dalam dua tahun terakhir ini adalah masa panen buat MLO yang belum pernah terjadi di masa-masa sebelumnya.
Kedisiplinan mereka mengelola kapasitas kapal dan kelangkaan kontainer secara global telah mengubah model bisnis dari buyer market menjadi seller market dan MLO yang pegang kendali bisnis, sehingga Ocean feight meroket dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Kondisi seperti ini diperkirakan masih berlanjut sampai tahun 2022.
Berdasarkan laporan Aphaliner, operating margin untuk industri kontainer mencapai angka tertinggi sepanjang masa (all time record) yaitu sebesar 38,2% untuk 10 operator terbesar (tidak termasuk MSC) pada kuartal pertama 2021.
Diantaranya terdapat lima dari 10 operator teratas yakni COSCO Shipholding yang beberapa tahun yang lalu mengakusisi OOCL, HMM, Yang Ming, Wan Hai Lines, dan Evergreen Marine Corp yang memperoleh pendapatan lebih banyak di kuartal pertama 2021dibanding tahun sebelumnya.
Operator Taiwan Evergreen, Yang Ming dan Wan Hai kembali memimpin, mencatat margin operasi lebih dari 45%. Sementaa CMA CGM yang di tahun 2016 mengakusisi American President Line (APL) mencatatkan laba bersih sebesar USD 2,1 miliar selama kurtal pertama 2021, atau naik dari hanya USD 48 juta dari setahun sebelumnya.
Permintaan yang berkelanjutan untuk angkutan barang konsumsi diperkirakan akan terus berlanjut sepanjang tahun di tengah congestion di beberapa pelabuhan dan tekanan pada rantai pasokan global.
Laporan Alphaliner juga menyebutkan, hasil keuangan di kuartal ke dua 2022 diproyeksikan sebaik kuartal pertama di tahun 2021 lantaran Ocean freight yang bakal masih cukup tinggi sepanjang tahun.
Lalu bagaimana dengan kinerja pelabuhan Tanjung Priok ?
Sepanjang kuartal pertama tahun ini, kinerja pelabuhan tersibuk di Indonesia itu juga menunjukkan kenaikan. Untuk kuartal pertama tahun ini, volume Pelabuhan Tanjung Priok meningkat 7,18% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Adapun produktivitas/throughput domestik tumbuh 15,69%, dan International naik 3,47%.
Penulis agak heran, setelah integrasi atau merger PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) I s/d IV yang rencananya akan terjadi di bulan September tahun ini, mengapa kluster container/peti kemas akan berpusat di Surabaya?, sedangkan lebih dari 60% kegitan petikemas ada di Tanjung Priok.Sementara para pengambil keputusan dari MLO dan pengguna jasa yang lain kini mayoritas berkantor di Jakarta.
Disisi lain, keberhasilan industri kontainer, shipping line dan terminal kontainer tak signifikan dirasakan oleh pengusaha buffrer kontainer over brengen (OB) atau tempat penimbunan sementara (TPS) di TPS lini 2 pabean Priok karena ketatnya persaingan di segmen bisnis itu.
Di pelabuhan Tanjung Priok, tercatat ada belasan perusahaan TPS Lini 2 yang melakukan kegiatan Pindah Lokasi Penimbunan ( PLP) atau OB.
Sementara, dalam tiga tahun terakhir kegiatan PLP semakin mengecil. Kantor Bea Cukai, Terminal/Pelabuhan dan para pengguna jasa semakin efisien ditunjang dengan kemajuan teknologi dan digitalisasi.
Bahkan kini, sekitar 80% dari total kargo impor kurang dari empat hari sudah dikeluarkan oleh pemilik barangnya (importir), sementara sisanya meskipun sudah lebih dari tiga hari masih menumpuk di Pelabuhan tetapi sudah mendapatkan surat perintah pengeluaran barang atau SPPB sehingga tidak perlu dilakukan PLP dan dipindahkan ke TPS Lini 2.
Alangkah baiknya, untuk sustainable business perusahaan yang berusaha di TPS Lini 2 melakukan merger horizontal, seperti yang dilakukan oleh main line operator (MLO) pada beberapa dekade yang lalu agar kinerja bisnisnya bisa tetap moncer. [Penulis: BAMBANG SABEKTI / Pengamat Kepelabuhanan]