BANDUNG, Logistiknews– Chairman Supply Chain Indonesia (SCI) Setijadi menyatakan pada saat ini sektor logistik Indonesia mengalami darurat regulasi.
Implementasi Perpres 26/2012 tentang Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional (Sislognas) sebagai payung hukum sektor logistik yang dikeluarkan hampir 10 tahun lalu berjalan tidak efektif.
Dalam periode itu, pencapaian road map dan rencana aksi Sislognas rendah, serta tidak ada evaluasi atau pengawasan secara berkala. Bahkan, rencana aksi sislognas baru tersusun untuk tahap I (2011-2015), sedangkan rencana aksi tahap II dan III (2016-2025) hingga saat ini belum dirumuskan.
Tanpa cetak biru Sislognas yang efektif, program K/L dalam bidang logistik akan sulit direncanakan dan diimplementasikan secara sinergis dan optimal. Selain itu, belum ada tools evaluasi secara organisasional, sehingga implementasi Sislognas oleh kementerian/lembaga (K/L) terkait tidak dapat dievaluasi.
Setijadi menjelaskan tanpa regulasi yang efektif, berbagai isu dalam sektor logistik akan sulit teratasi, seperti biaya logistik yang tinggi, ketidakseimbangan volume muatan antar wilayah, kelangkaan komoditas tertentu, dan tumpang tindih regulasi.
Selain itu, LPI (Logistics Performance Index) lebih rendah daripada negara-negara ASEAN lainnya. Pada tahun 2018, misalnya, LPI Indonesia pada peringkat 46, di bawah Singapore (peringkat 7), Thailand (32), Vietnam (39), dan Malaysia (41).
Untuk pengembangan sistem logistik, termasuk perbaikan LPI itu, saat ini tidak ada K/L yang ditugaskan secara khusus dalam regulasi Sislognas.
Koordinasi pelaksanaan Sislognas dilakukan Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3EI) 2011-2025 yang dibubarkan melalui Perpres 82/2020, namun fungsinya terkait koordinasi Sislognas belum dialihkan.
Rekomendasi SCI
SCI kembali menyampaikan tiga rekomendasi utama pengembangan sistem logistik.
Pertama, pencabutan Perpres 26/2012 dan penetapan regulasi baru minimal dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) agar lebih kuat implementasinya. Penyesuaian harus dilakukan terhadap dinamika pembangunan, serta perkembangan teknologi dan pola bisnis global.
Kedua, pembentukan Badan Logistik Nasional untuk mengkoordinasikan perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan perbaikan dan pengembangan sistem logistik yang bersifat multisektoral.
Ketiga, pembentukan UU Logistik sebagai regulasi yang kuat karena salah satu faktor penyebab implementasi Sislognas tidak efektif adalah masalah hirarki regulasinya.(am)