LOGISTIKNEWS.ID -Selain soal sistem nasional neraca komoditas (Sinas NK), persoalan Verifikasi Kemampuan Industri (VKI), kini menjadi kendala tersendiri bagi kalangan industri tekstil dan produk tekstil.
Ketua Umum Ikatan Eksportir Importir Indonesia (IEI) Amalia mengungkapkan, karena itu asosiasinya meminta supaya penerapan Sinas NK yang seharusnya berlaku per Desember 2022 untuk komoditas tekstil agar dapat ditunda.
“Soal Sinas NK tersebut kendalanya sih jadi banyak, terutama soal administrasi. Padahal NK atau neraca komoditas ini kan katanya untuk mengetahui kebutuhan bahan baku secara nasional. Artinya seluruh pelaku impor yang ada di Indonesia harus menyampaikan RK atau Rencana Kebutuhan bahan bakunya, dan tidak terbatas,” ujar Amalia kepada Logistiknews.id, pada Jumat (10/2/2023).
Dia juga heran mengapa komoditi tekstil dimasukkan dalam Sinas NK, termasuk juga komoditi lainnya seperti besi baja.
“Komoditi tekstil dan baja inikan bukan seperti produk makanan yang bisa ditemukan dimana kita berada. Jadi kamipun gak habis mengerti kenapa harus kena NK seperti beras,” tanya Amalia.
Verifikasi Kemampuan Industri
Dia mengatakan, selain soal Sinas NK, kini para perusahaan tekstil anggotanya yang mayoritas homebase di Bandung Jawa Barat menghadapi masalah Verifikasi Kemampuan Industri (VKI) yang mana pelaksanaan verifikasinya berbayar hingga belasan juta rupiah melalu lembaga survey tertentu.
“Komoditi tekstil saya rasa bukan kebutuhan pokok seperti beras, garam dll, kenapa harus ada NK ?. Sementara sudah ada VKI jadi tumpang tindih dan membebani dunia usaha karena double birokrasi,” paparnya.
Disisi lain, kata Amalia, untuk mengurus VKI di Kementerian terkait saja memakan waktu lama hingga berbulan-bulan sehingga produksi di pabrik berpotensi terhambat.
Karenanya, IEI berharap Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dapat segera mencarikan solusi mengenai hambatan-hambatan yang dialami dunia usaha itu lantaran pembinaan industri nasional berada di Kemenperin.
“Bahkan ada anggota kami yang sejak Oktober 2022, VKI-nya tidak di proses-proses. Apa gak kelabakkan industri kalau model perizinannya seperti ini ?,” ungkap Amalia.
IEI menyarakan, jika VKI sudah berbayar yang dilakukan oleh surveyor independen seperti Sucofindo dan Surveyor Indonesia, semestinya proses pengerjaan verifikasinya bisa lebih profesional lagi serta cepat diterbitkan dan dapat di pertanggungjawabkan VKI-nya.
“Jangan yang kemampuan hasil produksinya sedikit tetapi dapat kuotanya jauh lebih banyak. Jadi harus sesuai dengan kapasitas mesin terpasang. IEI juga mengingatkan supaya tidak ada celah ‘patgulipat‘ dengan verifikatornya. Jangan sampai siapa berani bayar besar dia dapat kuota banyak. Praktik yang begini yang mesti dihindari,” ujar Amalia.[am]