LOGISTIKNEWS.ID – Pembatasan operasional angkutan logistik selama arus mudik dan arus balik Lebaran 2023 bisa memicu langkanya pasokan barang konsumsi serta mengganggu kegiatan perdagangan.
Karena itu, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta pemerintah mengkaji ulang aturan yang tertuang dalam Keputusan Bersama Nomor: KP-DRJD 2616 Tahun 2023, SKB/48/IV/2023, 05/PKS/Db/2023 tersebut.
Pengurus Bidang Kebijakan Publik Apindo, Lucia Karina mengemukakan, seyogyanya pemerintah mengkaji kembali keputusan pembatasan tersebut untuk menghindari potensi kelangkaan produk konsumsi yang diperlukan masyarakat.
“Adapun, salah satu sektor yang terdampak dari aturan ini adalah pasokan air minum dalam kemasan (AMDK),” ujarnya melalui keterangan resmi dikutip Senin (10/4/2023).
Mengutip data asosiasi air minum, hampir 80 persen pasokan produk AMDK berada di pulau Jawa.
Dia menuturkan aturan tersebut berpotensi mengurangi pelayanan AMDK sehingga mengancam ketersediaan barang di daerah. Kelangkaan AMDK, diperkirakan akan meningkatkan harga jual di masyarakat, terutama saat momen Lebaran.
“Tak hanya air minum, sektor ekspor impor juga turut terdampak. Pasalnya, industri ekspor impor sangat bergantung pada jadwal pengiriman. Jika pembatasan selama dua pekan dilakukan, maka penumpukan di pelabuhan ataupun di pabrik tak dapat terhindarkan,” ucapnya.
Kemudian dari sisi komersial, imbuhnya, kebijakan seperti itu berpotensi kehilangan customer ekspor. Tak hanya itu, penumpukan di pelabuhan membuat perusahaan terkena biaya denda dan sewa gudang di pelabuhan, utamanya yang melakukan impor.
Pelabuhan Terancam Kongesti
Sebelumnya, Ketua Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) DKI Jakarta, Adil Karim mengemukakan, SKB itu tidak mengecualikan untuk angkutan ekspor impor atau peti kemas dari dan ke pelabuhan.
Hal ini artinya angkutan ekspor impor atau peti kemas dilarang beroperasi selama periode tersebut. Selain itu berpotensi membuat pelabuhan terancam kepadatan atau kongesti.
Adil menegaskan, SKB itu terkesan hanya mengedepankan kepentingan angkutan orang atau penumpang saat Lebaran namun mengabaikan kelangsungan proses bisnis logistik yang notabene tidak boleh terhambat agar kondisi perekonomian nasional tetap stabil.
“Kalau urusan logistik ekspor impor ini terhambat maka multiplier efeknya sangat luas hingga ke hinterland-nya (juga tidak bisa beroperasi). Imbasnya biaya logistik melambung dan beban masyarakat sebagai konsumen akhir juga bisa terkerek naik,” ucap Adil.
Oleh karenanya, ALFI mendesak SKB itu segera direvisi lantaran regulasi arus mudik (penumpang/orang) jangan sampai mengorbankan perekonomian nasional yang saat inipun masih dalam bayang-bayang resesi global.
“Intinya harus ada pengecualian untuk angkutan ekspor impor selama masa Lebaran. Jadi SKB tersebut harus direvisi dan jangan hanya melihat satu sisi mudiknya saja, tetapi juga mempertimbangkan perputaran ekonomi secara nasional melalui pergerakan barang dan logistik keseluruhan,” papar Adil
Dia mengaku heran mengapa aturan pengaturan angkutan barang pada musim Lebaran tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.
“Kalau tahun-tahun sebelumnya, untuk angkutan ekspor impor (peti kemas) dikecualikan alias tidak ada pembatasan operasional saat musim angkutan lebaran,” ujar Adil.
Hal senada dikemukakan, Ketua Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) DKI Jakarta, Irwandy MA Rajabasa.
Menurutnya, saat ini kondisi perekonomian global sedang menghadapi masalah berat, yang menyebabkan permintaan ekspor khususnya industri pertekstilan mengalami penurunan yang signifikan, bahkan yang terparah selama ini.
Kondisi perusahaan yang saat ini hanya beroperasi 50% dari kapasitas terpasang tetapi dengan beban biaya operasional penuh termasuk kenaikan upah minimum sudah sangat membebani perusahaan.
“Untuk itu apabila SKB angkutan Lebaran ini tidak segera direvisi akan semakin parah dan menambah masalah baru yang cukup serius.,” ujar Irwandy, pada Senin (10/4/2023).
Dia menegaskan, di Industri pertekstilan perusahaan yang memperkerjakan hingga puluhan ribu pekerja dalam satu perusahaan adalah yang berorientasi ekspor, yaitu pekerjaannya memenuhi kontrak dengan buyer untuk pasar ekspor.
GPEI juga menilai SKB angkutan Lebaran ini mengancam keterlambatan delivery (pengiriman) barang sesuai kontrak dengan buyer luar negeri.
Karenanya, ungkap Irwandy, apabila SKB angkutan lebaran ini tidak segera direvisi maka akan menimbulkan masalah serius dengan kontrak yang sudah disepakati perusahaan dengan buyer yaitu terancam kena pinalti dan ini sangat berbahaya serta merugikan perusahaan yang saat ini dalam kesulitan besar.
“Pinalti ini bisa menyebabkan order perusahaan dipindahkan ke negara lain dan ini merupakan ancaman sangat serius untuk keberlangsungan hidup perusahaan dan tenaga kerja (mayarakat),” ucapnya.
Unruk itu, GPEI berharap agar regulasi pengaturan angkutan Lebaran jangan sampai mengabaikan kepentingan perekonomian ataupun ekspor impor nasional seperti tahu-tahun sebelumnya.
“Kalau mau keluarkan aturan, ya minimal aturan angkutan lebaran itu sama dengan tahun-tahun sebelumnya yang tidak sampai mengganngu kegiatan eskpor impor,” tutup Irwandy.
Ketua Umum DPP Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia Gemilang Tarigan mengatakan, kalau angkutan peti kemas dilarang atau tidak dikecualikan dalam pembatasan operasional selama Lebaran, itu artinya angkutan peti kemas libur selama periode masa angkutan lebaran tersebut.
“Kalau ekspor terhenti berarti sama halnya devisa ke negara tidak masuk atau hilang. Potensi kerugian lainnya yakni pelabuhan ekspor impor bisa alami stagnasi atau bahkan kongesti,” ucap Gemilang.[am]