LOGISTIKNEWS.ID – Dewan Pemakai Jasa Angkutan Laut Indonesia (Depalindo) menyoroti hal krusial yang perlu dibenahi untuk mendukung kelancaran arus barang sekaligus mengefisienkan layanan logistik di Indonesia.
Ketua Umum Depalindo, Toto Dirgantoro mengatakan, pertama, berkaitan dengan tarif lift on-lift off (Lo-Lo) di fasilitas depo empty yang sangat membebani dunia usaha karena biayanya justru lebih tinggi ketimbang tarif Lo-Lo di dalam pelabuhan.
“Depalindo konsentrasi terus mengawal agar biaya Lo-Lo di depo empty dapat segera dipangkas. Bahkan soal itu, saat ini sedang di bahas dengan tim Kemenhub dan dalam pantauan Ombudsman RI atas pengaduan Depalindo,” ujar Toto, pada Rabu (30/8/2023).
Baca Juga : Buntut Laporan Depalindo, Ombudsman RI Minta Klarifikasi Pelindo & 2 Instansi
Kedua, Depalindo mengkritisi soal layanan kepabeanan ekspor impor berbasis IT atau Customs-Excise Information System and Automation / CEISA, yang kerap terjadi trouble sehingga berimbas pada kerugian pelaku usaha lantaran menghambat kelancaran arus barang.
Ketiga, kata Toto, Depalindo mendukung langkah proaktif Ditjen Bea dan Cukai Kemenkeu yang semakin proaktif mengawasi masuknya importasi ilegal dengan menurunkan tim ke sejumlah pelabuhan, guna memberantas praktik importasi ‘nakal’ yang merugikan negara.
Keempat, ujar Toto, masih adanya disharmoni regulasi antar Kementerian dan Lembaga (K/L) sehingga menghambat upaya percepatan penataan sistem logistik nasional melalui National Logistic Ecosystem (NLE) sebagaimana yang telah diamanatkan melalui Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2020.
Depalindo juga menerima laporan bahwa, regulasi tentang Pemindahan Barang yang Melewati Batas Waktu Penumpukan atau Longstay sebagaimana tertuang dalam Permenhub (PM) 116 tahun 2016 yang kemudian dirubah melalui PM 25 tahun 2017, hingga saat kini dalam praktiknya tidak sinkron dengan Peraturan Menteri Keuangan RI No: 216/PMK.04/2019 tentang Angkut Terus Atau Angkut Lanjut Barang Impor atau Ekspor.
Padahal, kata Toto, beleid itu terkait dengan kelancaran arus barang di empat pelabuhan utama yakni Tanjung Priok Jakarta, Belawan Sumatera Utara, Tanjung Perak Surabaya, dan Pelabuhan Makassar. Dan hal inipun guna mendorong akselerasi implementasi NLE.
“Disharmoni regulasi seperti itu menimbulkan ketidakpastian bagi layanan logistik dan merugikan pelaku usaha sehingga NLE sulit dapat berlari kencang sesuai harapan Inpres 5/2020,” ucapnya.
Untuk itu, empat point krusial itu menjadi catatan Depalindo agar menjadi perhatian serius pemerintah jika ingin menurunkan cost logistik nasional lebih signifikan sekaligus mendongkrak Logistics performance index (LPI) Indonesia.
Sebagaima diketahui, LPI Indonesia menempati peringkat ke 63 dari total 139 negara yang dikaji dengan skor LPI 3,0, berdasarkan catatan Bank Dunia (World Bank) yang dirilis pada April 2023.
Catatan Bank Dunia tersebut menunjukkan LPI Indonesia mengalami penurunan 17 peringkat dibandingkan pada 2018 saat Indonesia menduduki urutan ke-46 dengan skor LPI 3,15.
Kinerja LPI itu dihitung berdasarkan enam indikator, yakni customs, infrastructure, international shipments, logistics competence and quality, timelines, dan tracking & tracing.[redaksi@logistiknews.id]