LOGISTIKNEWS.ID – Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan Korupsi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menyelenggarakan Seminar Nasional bertema ‘Pencegahan Korupsi Dalam Tata Kelola & Pelayanan Ekspor Impor’ di Lobby Gedung Tribrata, Jakarta Selatan, pada Kamis (14/9/2023).
Dalam kesempatan itu, Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menekankan pentingnya pencegahan korupsi di tata kelola dan pelayanan ekspor impor.
Bahkan, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyatakan Indonesia perlu melakukan perbaikan terhadap indeks persepsi korupsi (IPK) yang beberapa waktu lalu telah dirilis oleh Transparency International.
“Banyak hal tentunya harus kita perbaiki, namun ini menunjukan semangat bahwa Indonesia tentunya merespon baik terhadap hasil dari IPK tersebut dan kita semua seluruh kementerian lembaga termasuk Polri akan melakukan perbaikan-perbaikan terhadap temuan yang ada,” ujar Kapolri.
Kapolri juga menyampaikan bahwa perbaikan IPK Indonesia akan mempengaruhi penilaian internasional terhadap kemudahan berusaha dari negara maju untuk terus menerus meningkatkan investasi. Selain itu, perbaikan IPK juga akan membantu menjaga dan mengawal ekspor impor Indonesia di tengah fenomena barang yang banjir masuk ke Indonesia akibat dari konstelasi global.
Baca Juga : Depalindo Ungkap Ini ‘Biang Kerok’ yang bikin Cost Logistik Mahal
Baca Juga : Tarif Hico-Scan Peti Kemas Impor di TPFT Graha Segara, Diberlakukan 9 Januari 2023
Pada kesempatan yang sama, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengemukakan, pihaknya menyambut baik upaya dari Polri untuk mengadakan seminar nasional ini untuk membahas secara lebih detail dan sistematis mengenai penyebab IPK Indonesia menurun dikaitkan dengan kegiatan ekonomi yang penting yaitu ekspor impor.
“Saya berharap dari seminar ini kita akan perbaiki dan melihat semua aspek dari sisi tata kelola dan dari sisi daya saing Indonesia, karena ini sangat menentukan Indonesia untuk maju ke depan,” ucap Menkeu.
Menkeu juga menyampaikan apresiasi kepada Polri dan Satgas Pencegahan Korupsi Polri atas inisiatifnya untuk mengadakan seminar ini. Diharapkan, seminar ini dapat menghasilkan rekomendasi yang konkret untuk perbaikan tata kelola dan pelayanan ekspor impor di Indonesia.
“Kami di Kementerian Keuangan dari Inspektorat Jenderal, kemudian pajak, bea cukai, dan LNSW akan siap untuk melaksanakan kerja sama ini secara baik,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Untuk diketahui, skor IPK Indonesia turun ke angka 34 pada tahun 2022. Penurunan ini menjadi hal yang cukup mengejutkan lantaran Indonesia berhasil mempertahankan skor IPK di angka 38 hingga 2021. Penurunan membuat Indonesia harus berpuas hati untuk menempati posisi ke-110, dari sebelumnya berada pada peringkat 96.
Suara Eksportir
Dalam seminar tersebut, Sekjen DPP Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Toto Dirgantoro yang menjadi salah satu pembicara, mengungkapkan penyebab tingginya biaya logistik di sektor ekspor impor dan berpotensi praktik korup atau suap yakni; soal biaya di depo empty, permainan importir ‘nakal’, barang – barang dari Business to Business (B2B) menjadi Business to Customer (B2C), serta praktik pungutan Liar.
Depo peti kemas kosong (empty) merupakan sebuah perusahaan yang bergerak dibidang jasa penitipan peti kemas kosong yang di mana kegiatannya adalah lift on dan lift off (LoLo) empty container (muat dan bongkar peti kemas kosong).
Namun, imbuhnya, fakta di lapangannya, bahwa biaya LoLo di depo empty container justru bisa melebihi biaya LoLo di dalam Pelabuhan (diantara Rp 600.000 – 800.000).
Hal itu terjadi, kata Toto, lantaran tidak ada pengawasan dalam kinerja depo empty Container. Selain itu, ketidakjelasan status depo empty container yaitu tempat penyimpanan container yang merupakan inventori pelayaran, tetapi izin nya dikeluarkan oleh Dinas Perhuhungan (Pemprov) sedangkan Pelayaran dibawah Kementerian Perhubungan.
“Akibatnya tidak ada yang melakukan pengawasan kinerja dan tarifnya, bahkan ironis-nya masih ada depo empty yang belum memiliki izin dan amdalalin-nya,” ucap Toto.
Imbas tidak adanya pengaturan komponen tarif dan pengawasan di depo empty oleh para pihak terkait itu maka seluruh biaya dibebankan kepada pengguna jasa.
Dalam kaitan ini, GPEI juga mengungkap ada refund ke Principle dalam praktik usaha di depo empty. “Jika ada selisih LoLo 300.000/box dengan jumlah ekspor impor 10 juta box/tahun maka kerugian dunia usaha eksportir dan importir mencapai Rp 3 Triliun,” tegasnya.
Karena itu, Toto yang juga menjabat Ketua Umum Dewan Pemakai Jasa Angkutan Laut Indonesia (Depalindo) itu menegaskan, untuk urusan depo empty petikemas perlu diatur menyangkut syarat perizinan, siapa yang melakukan pengawasan, dan komponen tarif-nya. “Bahkan kami juga sudah laporkan soal ini ke Ombudsman RI,” ujarnya.
Praktik Borongan & Pungli
Masalah lainnya, kata Toto, masih terdapat fenomena bahwa ada penawaran dari perusahan perusahaan jasa importasi yang lebih dikenal di kalangan umum sebagai Import ‘borongan’ yang mengakibatkan maraknya barang dipasaran yang menggangu ekonomi nasional dan khususnya Industri lokal.
“Hal ini bisa terlihat dimana saat ini banyaknya produk import dengan harga murah,” papar Toto.
Toto juga mensinyalir praktik importasi maupun eksportasi ‘nakal’ biasanya dilakukan dengan memanfaatkan fasilitas kemudahan yang diberikan.
Karenanya, dia mengusulkan pemasangan alat pemindai petikemas atau HiCo-Scan di setiap Terminal saat masuk maupun keluar (in dan out).
Toto menegaskan soal maraknya barang B to B menjadi B to C (B2B menjadi B2C) yang menganggu produksi dalam negeri karena Industri dalam negeri mengecil dan menengah akan kalah dengan barang borongan impor seperti dari China & Korea yang murah dan bisa langsung di arahkan ke Konsumen.
Barang impor marak dengan harga murah mayoritas dari online seperti Kosmetik dan lainnya yang bisa berakibat fatal bagi konsumen.
“Barang impor yang murah ini penuh tanda tanya mengapa bisa barang impor jauh lebih murah dari barang dalam negeri ? dapat diduga ada manipulasi dokumen jika ini dibiarkan Industri dalam negeri akan mati,” tutunya.
Toto juga menyoroti soal fenomena pungutan liar atau pungutan tanpa dasar hukum dimana masih terjadi pungutan yang ditarik oleh agen forwarding pelayaran, tetapi jika tidak diikuti mereka dapat menahan barang.
Contohnya, kata dia, Sucharge , Seal Fee dan lainya ada juga LCL biaya CFS nya 450rb / Kubik tetapi realita nya tidak seperti itu. Untuk itu terhadap praktik pungutan tanpa dasar ini perlu ada pengawasan dan tindakan tegas.
“Disisi lain, kita mengetahui bahwa fasilitas container freight station atau CFS Center di pelabuhan tidak berjalan sesuai yang diharapakan tetapi hanya sebagai billing center dimana di dalam billing untuk receiving, delivery dan mekanik atau RDM tercetak Rp 90.000/kubik tetapi realisasi-nya hanya Rp 50.000/ kubik,” ungkap Toto• [redaksi@logistiknews.id]