GINSI Tak Keberatan Impor Diatur, Tapi Jangan Persulit Dunia Usaha

  • Share
Capt Subandi, Ketua Umum BPP GINSI

LOGISTIKNEWS.ID – Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) menyatakan, pada hakekatnya pelaku usaha importasi tidak mempermasalahkan regulasi pengaturan impor sepanjang pada implementasinya aturan tersebut tidak mempersulit dunia usaha.

Hal itu ditegaskan Ketua Umum BPP GINSI, Capt Subandi saat dimintai tanggapanya sehubungan rencana kebijakan Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian (Kemenperin) untuk melindungi industri nasional.

Kebijakan itu yakni melakukan pengawasan yang sebelumnya sifatnya Post-Border akan diubah menjadi pengawasan di Border, dengan pemenuhan Persetujuan Impor (PI) dan juga Laporan Surveyor atau LS.

“Kami (pelaku usaha) tidak anti untuk diatur tetapi janganlah mempersulit importasi. Sebab impor jangan hanya dilihat dari sisi negatifnya terus tetapi mesti juga dilihat sisi positifnya. Sebab, importasi mampu menghidupi sektor usaha lain yang juga membayar pajak dan menyerap tenaga kerja, bahkan berpartisipasi dalam pertumbuhan perekonomian indonesia,” ujar Capt Subandi, kepada Logistiknews.id pada Rabu (18/10/2023).

Menurutnya, justru saat ini yang harus di evaluasi adalah mengenai LS. Sebetulnya Laporan Survey (LS) ini penugasan atau lebih cenderung ke bisnis, karena faktanya barang yang memimiliki LS pun tetap di periksa oleh Custom jika masuk kategori jalur merah.

Sebab dalam kaitan itu, imbuhnya, Custom hanya melihat atas produk yang di import ini memiliki LS atau tidak, dan tidak melihat laporan detilnya.

Akibatnya, kata Subandi, banyak komoditas yang memiliki LS pun ternyata bisa berbeda dengan poroduk yang di importnya. Terlebih saat ini pemeriksaan barang bisa di lakukan di pelabuhan tujuan (Indonesia).

“Artinya barang di impor dulu, kemudian baru diperiksa kesesuaianya bukan di negara asal. Nah, jika VPTI ini murni bisnis maka sangat berbahaya jika di kaitkan dengan kerahasiaan, karena data barang bisa dibuka dan diserahkan ke negara lain ataupun juga ke kompetitor sesama importir,” ucapnya.

Sebagai informasi, VPTI merupakan pemastian kesesuaian antara dokumen perizinan impor dengan dokumen pendukung dan fisik barang impor tertentu yang dilakukan oleh Surveyor yang telah ditetapkan Menteri Perdagangan. Hasil dari VPTI dituangkan ke dalam Laporan Surveyor (LS) sebagai salah satu dokumen persyaratan impor.

Capt Subandi menceritakan, cukup banyak contoh komoditas yang telah memiliki LS tetapi kemudian bermasalah seperti yang ramai beberapa waktu lalu terjadi, yakni masuknya sejumlah kontainer impor yang diduga berisi sampah atau limbah melalui pelabuhan Indonesia termasuk di pelabuhan Tanjung Priok Jakarta

“Sampai sekarang sebagian kontainer impor diduga berisi limbah itu masih mengendap di TPP (tempat penimbunan pabean) karena belum direekspor ataupun dimusnahkan. Hal seperti ini jangan sampai lagi terjadi karena itu diperlukan aturan atau regulasi yang lebih pasti bagi dunia usaha khususnya importir,” ucap Capt Subandi.

Disisi lain, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus berupaya meningkatkan kualitas produk industri dalam negeri agar dapat berdaya saing melalui upaya standardisasi industri berupa pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) secara wajib pada produk hasil industri.

Pemberlakuan SNI ini diharapkan dapat mendorong peningkatan kualitas produk industri dalam negeri melalui standar-standar yang telah ditetapkan dan juga untuk melindungi pasar dalam negeri dari produk impor berkualitas rendah (trade barrier).

“Maraknya peredaran barang impor di pasar dan platform digital (e-Commerce) saat ini, membuat Bapak Presiden memberikan arahan agar fokus pada pengetatan impor komoditas tertentu seperti pakaian jadi, mainan anak, elektronik, alas kaki, kosmetik, barang tekstil sudah jadi lainnya, obat tradisional, dan suplemen kesehatan, serta produk tas,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita melalui keterangan tertulisnya, pada awal pekan ini.

Pengawasan di Border

Menperin mengemukakan, saat ini pengawasan yang sifatnya Post-Borderakan diubah menjadi pengawasan di Border, dengan pemenuhan Persetujuan Impor (PI) dan juga Laporan Surveyor (LS).

Dari total sebanyak 11.415 HS, terdapat ketentuan tata niaga impor (Larangan/Pembatasan atau Lartas) terhadap 6.910 HS (sekitar 60,5%) dan sisanya sekitar 39,5% merupakan barang Non-Lartas.

“Dari 60,5% komoditas yang terkena Lartas tersebut, sebanyak 3.662 HS (32,1%) dilakukan pengawasan di Border dan sebanyak 3.248 HS (28,4%) dilakukan pengawasan Post-Border,” ungkapnya.

Terkait hal itu, Kemenperin melakukan revisi atau perbaikan peraturan untuk mengakomodasi perubahan pengawasan dari post border menjadi border tersebut dalam waktu dua minggu.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita.

Selain itu, menurut Menperin, terdapat usulan beberapa industri di kawasan berikat yang ingin menjual produknya di pasar domestik dengan melepas fasilitas-fasilitas yang didapatkan, di mana hal ini perlu juga diawasi secara ketat. Hal ini juga dikarenakan Kemenperin sampai saat ini belum memiliki akses data yang cukup valid terkait kuantitas produk dari kawasan berikat.

“Jika industri yang berada di kawasan berikat yang ingin menjual produknya ke dalam negeri, maka harus diciptakan playing field yang sama antara kawasan berikat dengan nonberikat agar tercipta fairness. Supaya industri di kawasan berikat tidak menjadi predator bagi industri di luar kawasan berikat yang tidak menerima insentif yang sama,” imbuhnya.

Diperlukan Data

Memperin menyebutkan, dalam upaya menetapkan kebijakan, diperlukan data dan informasi yang tepat. Sehingga, Kemenperin akhirnya harus membuat studi sendiri untuk menetapkan jumlah kawasan berikat di Indonesia.

“Ini menjadi problem, kalau tidak terbuka satu sama lain terkait data, Kemenperin sebagai pembina industri tidak bisa melakukan tugas secara maksimal,” tandasnya.

Menperin juga menekankan pentingnya keterbukaan dan transparansi terkait data, termasuk dalam upaya pengendalian impor. “Kami telah mengusulkan agar langkah ini dilakukan melalui Neraca Komoditas yang sesuai dengan supply and demand nasional,” papar Agus.

Langkah selanjutnya, kata dia, diperlukan pembentukan Satgas Nasional yang terdiri dari Kemenperin, Polri, Bea Cukai, Kementerian Perdagangan, Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Kominfo dan Badan Karantina.

“Semua langkah ini diperlukan untuk melindungi pelaku usaha terutama industri nasional serta masyarakat Indonesia secara keseluruhan,” tuturnya [redaksi@logistiknews.id]

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *