Sorotan Redaksi Sepekan: Menyoal Privilage Importasi TPT, hingga Kelangkaan BBM Truk Logistik

  • Share

SEPANJANG pekan lalu (17 s/d 24 Desember 2023), redaksi Logistiknews.id mengangkat sejumlah topik pada sektor transportasi dan logistik yang disodorkan ke pembaca.

Diawal pekan, redaksi menyoroti soal Pengecualian Pemberitahuan Impor (PI) dan Laporan Surveyor untuk Produk Tekstil & Turunannya (TPT), lantaran dinilai oleh Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) berpotensi mengganggu industri nasional.

Selain itu, aturan Pemberlakuan Pembatasan Truk Logistik saat Natal dan Tahun Baru atau Nataru yang berakibat pada terhambatnya pergerakan arus barang dan logistik.

Redaksi juga mengangkat pemberitaan keluhan para pengusaha trucking di sejumlah daerah Indonesia akibat kesulitan memperoleh bahan bakar minyak (BBM) yang diatur melalui aplikasi My Pertamina. Kondisi ini menyebabkan biaya logistik membengkak dan layanan distribusi barang terhambat. Berikut Rangkumannya:

Pengecualian PI & LS untuk TPT, Disoal

Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) menyoroti bentuk privilage yang diberikan Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan kepada AEO dan MITA atas  pengecualian pemberitahuan impor (PI) dan Laporan Surveyor (LS) terhadap produk tekstil dan turunannya (TPT).

Wakil Ketua Umum BPP Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) bidang Transportasi, Kepelabuhanan dan Kepabeanan Erwin Taufan, mengatakan pasalnya privilage atau keistimewaan yang diberikan kepada importir produsen atau pemegang Angka Pengenal Importir Produsen (API-P) itu justru berpotensi mengganggu kelangsungan industri dalam negeri.

“Kalau ada privilage seperti itu maka ketentuan aturan larangan pembatasan (lartas) importasi oleh Bea dan Cukai tidak diperlukan lagi. Padahal ketentuan lartas untuk mengendalikan jumlah barang yang masuk maupun yang keluar Indonesia demi menjaga industri dalam negeri,” ujar Taufan, pada Selasa (18/12/2023).

Dia mengatakan, privilage importasi komoditi tekstil oleh pemegang API-P itu diatur melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No: 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.

Dalam beleid itu, kata dia, terdapat pengecualian atau persetujuan impor (PI) dan Laporan Surveyor (LS) impor tekstil dan produk tekstil (TPT) yang dilakukan oleh importir API-P yang telah mendapatkan surat keputusan dari Kementerian yang menyelenggarakan urusan Pemerintahan dibidang Keuangan tentang Pengakuan sebagai Authorized Economic Operator (AEO) dan atau penetapan sebagai mitra utama (MITA) Kepabeanan dengan status aktif.

“Padahal, kalau importir yang kantongi status mitra prioritas (MITA) dari Bea dan Cukai idealnya hanya boleh diberikan prioritas layanan menyangkut fasilitas yang dipunya oleh Ditjen Bea dan Cukai Kemenkeu saja. Jangan sampai lintas Kementerian juga memberikan prioritas yang sama, sehingga tumpang tindih aturannya,” ucap Taufan.

Dia mengatakan, oleh karenanya privilage terhadap importir produsen prihal pengecualian pemberitahuan impor dan Laporan Surveyor terhadap produk TPT itu mesti dikaji ulang demi keberlangsungan industri dalam negeri.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa nilai impor Indonesia November 2023 mencapai US$19,59 miliar, naik 4,89 persen dibandingkan Oktober 2023 atau naik 3,29 persen dibandingkan November 2022.

Adapun menurut golongan penggunaan barang, nilai impor Januari s/d November 2023 terhadap periode yang sama tahun sebelumnya terjadi peningkatan pada golongan barang modal senilai US$3.188,7 juta (9,74 persen) dan barang konsumsi US$1.471,0 juta (8,16 persen). Sementara itu, impor bahan baku/penolong turun US$19.464,7 juta (11,67 persen).

Truk Logistik Dibatasi Arus Barang Terhambat

Kebijakan pengaturan atau pembatasan operasional truk angkutan barang menjelang Natal dan Tahun Baru (Nataru) menimbulkan kemacetan dan hambatan distribusi barang.

Imbasnya, importir mengalami kerugian bukan saja materil tetapi juga keterlambatan pasokan bahan baku untuk industri.

“Sebenarnya terjadinya hambatan arus barang akibat adanya aturan seperti ini sudah diprediksi sebelumnya tetapi pemerintah melalui Dirjen Perhubungan Darat Kemenhub tetap saja memberlakukan kebijakan tersebut. Saya heran dengan Pemerintah, kok yang selalu menjadi korban pengusaha, padahal kalau pengusaha tidak bisa membayar THR ataupun keterlambatan gaji, kami (pengusaha) juga yang kena tegor Pemerintah,” ujar Ketua Umum BPP Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Capt Subandi.

Diapun tak habis pikir dengan kebijakan pengaturan libur Nataru yang disamakan dengan Libur lebaran atau Idul Fitri, padahal situasi pergerakan dan jumlah arus mudiknya tidak bisa disamakan.

Akibatnya, tidak sedikit pengusaha truk logistik terpaksa merogoh kocek lebih besar, baik untuk biaya operasionalnya maupun biaya ‘koordinasi’ agar bisa tetap operasional saat Nataru.

“Ujung-ujungnya pihak pengangkut (trucking) juga menagihkan tambahan biaya kepada pemilik barang selama masa Nataru,” ucapnya.

Sebagai pengusaha dibidang importasi, Capt Subandi menilai bahwa keinginan Pemerintah yang selalu menggembar-gemborkan penurunan biaya logistik selama ini, justru bertolak belakang dengan implementasi kebijakannya di lapangan.

“Bagaimana mau menurunkan cost logistik kalau setiap Nataru kebijakanya seperti ini terus (batasi angkutan logistik),” tanya Capt Bandi.

Dia mengungkapkan, pembatasan angkutan logistik juga berdampak pada kegiatan atau layanan jasa kepelabuhanan sehingga terjadi kemacetan yang berpotensi stagnasi di akses pelabuhan.

Sebagaimana diketahui, Pemerintah  membatasi operasi angkutan barang di tol dan non tol pada 22-24 Desember, kemudian 26-27 Desember, serta 29-30 Desember dan 1-2 Januari mendatang.

Pembatasan tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Kementerian Perhubungan, Korlantas, Polri dan Kementerian PUPR.

Pembatasan diberlakukan mulai pukul 08.00 waktu setempat.

Kemudian untuk jalan non tol akan dilakukan pembatasan pada 22-24 Desember dan 26-27 Desember serta dilanjutkan pada 29-30 Desember dan 1-2 Januari.

Pembatasan dilakukan demi memperlancar arus kendaraan saat musim libur Natal 2023 dan Tahun Baru 2024.

Meski demikian, pembatasan angkutan barang tidak akan dilakukan secara menyeluruh. Kendaraan angkutan barang pengangkut sembako, BBM atau BBG, antaran uang, hewan pakan ternak, dan  pupuk akan dikecualikan dari pembatasan itu.

Salah Urus, BBM Truk Logistik Langka

Biaya logistik di Indonesia terus meningkat dan layanan distribusi barang terhambat lantaran truk pengangkut barang dan logistik di sejumlah wilayah Indonesia kesulitan memperoleh bahan bakar minyak (BBM) yang diatur melalui aplikasi My Pertamina.

Pasalnya, hampir seluruh SPBU wilayah pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan telah terjadi kelangkaan BBM Bio Solar dan adanya pembatasan pembelian BBM Bio Solar per hari, padahal kuota yang diatur dalam aplikasi My Pertamina belum melewati batas pembelian per hari. Karenanya, Aptrindo mempertanyakan fungsi dan peran BPH MIGAS dalam hal pengaturan itu.

“Kondisi seperti ini sudah berlangsung sebulan terakhir ini, dan berdampak pada hambatan distribusi barang hampir di seluruh wilayah Indonesia sehingga cost logistik melambung tinggi,” ujar Ketua Umum DPP Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Gemilang Tarigan, pada Jumat (22/12/2023).

Dia mengatakan, DPP Aptrindo menerima banyak keluhan yang disampaikan langsung para pengusaha truk di seluruh Indonesia  mengenai kendala dilapangan dalam mendapatkan BBM Bio Solar tersebut.

Bahkan, ungkap Gemilang, kondisi faktual di Kalimantan Timur bukan hanya kelangkaan BBM Bio Solar saja, akan tetapi BBM Pertalite juga mengalami kelangkaan.

“Kondisi ini berimbas kendaraan angkutan barang/truk harus rela antri berhari-hari,” ucapnya.

Dia menjelaskan, aplikasi My Pertamina sebagai alat kontrol dalam pembelian BBM bersubsidi khususnya Bio Solar.

“Namun dilapangan ditemukan banyak sekali masalah diantaranya karena justru digunakan oleh para oknum petugas SPBU untuk mencari keuntungan pribadi dengan memalsukan pembelian BBM Bio Solar menggunakan My Pertamina pihak lain,” ujar Gemilang.

Masalah juga terjadi di wilayah Sumatera dan Kalimantan, dimana pembelian BBM Bio Solar bukan untuk kendaraan yang berhak mendapatkan Subsidi.

Berdasarkan temuan anggota Aptrindo di wilayah itu, kata dia, ada indikasi BBM Bio Solar dibeli oleh para oknum penjual BBM illegal yang selanjutnya disalurkan ke Industri/Perkebunan/Pertambangan.

“Kondisi ini menandakan pengaturun penyaluran BBM bersubsidi tidak tepat sasaran,” ujar Ketum Aptrindo.

Sehubungan dengan berbagai persoalan itu, DPP Aptrindo mendesak Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) untuk segera melakukan action konkret mengatasi kendala para pengusaha truk yang notabene salah satu komponen penting dalam jaringan distribusi logistik nasional.

Untuk itu, Aptrindo juga telah menyampaikan sikap resminya Kepala BPH Migas Erika Retnowati melalui surat pada 22 Desember 2023.

Ada lima point krusial tuntutan Aptrindo yang perlu mendapatkan perhatian serius dan di tindaklanjuti oleh BPH Migas.

Pertama, Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) sebagai sebuah organisasi non profit yang berbadan hukum resmi dan menjadi mitra kerja Kementerian Perhubungan Republik Indonesia serta menjadi anggota luar biasa Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN), dimana mayoritas utama anggota APTRINDO adalah pengusaha truk pengguna utama BBM Bio Solar sangat dirugikan atas kondisi realitas dilapangan sulitnya dalam mendapatkan BBM Bio Solar. Kondisi ini bukan hanya menggangu kinerja distribusi logistik tetapi juga akan berpengaruh terhadap biaya logistik.

Kedua, Para pelaku usaha angkutan barang yang sangat bergantung pada BBM Bio Solar, mendorong dan mendukung sepenuhnya kepada pemerintah dalam hal ini melalui BPH Migas untuk menaikkan harga eceran BBM Bio Solar sehingga selain untuk mengurangi beban Subsidi pemerintah, juga untuk mencegah penyelewengan BBM Bersubsidi Bio Solar dikarenakan saat ini disparitas harga antara BBM Bersubsidi Bio Solar dengan BBM Solar Industri sangat tinggi.

Ketiga, Aptrindo melihat saat ini bahwa BPH Migas sebagai badan yang dibentuk oleh pemerintah, memposisikan sebagai lembaga yang eksklusif, tidak terbuka atau mau membuka diri mendengar masukan dari Masyarakat. Hal ini sangat disayangkan bahwa sebuah Badan bentukan pemerintah tidak pernah mau mendengar, menyerap informasi atau aspirasi dari masyarakat khususnya pengguna produk yang diatur. Statement yang disampaikan oleh para pejabat BPH Migas selama ini juga terkadang tidak melihat fakta dan kenyataan yang benar dilapangan khususnya ketersediaan BBM Bio Solar di SPBU.

Keempat, Persoalan kelangkaan BBM Bersubsidi khususnya Bio Solar ini menjadi sebuah kejadian perulangan hampir setiap memasuki kuartal akhir tahun dengan isue yang berkembang yaitu Kuota Subsidi hampir habis atau sudah habis. Hal ini tentunya menunjukkan kegagalan peran BPH Migas dalam melakukan fungsi dan tugasnya seperti yang telah diatur dalam UU MIGAS No. 22 Tahun 2001.

Kelima, meminta BPH Migas menunjukkan keseriusannya dalam mengatur tata Kelola distribusi BBM Bersubsidi khususnya BBM Bio Solar diseluruh tanah air, agar masyarakat pengguna tidak merasa dipermainkan oleh kebijakan pemerintah. Seperti penggunaan aplikasi My Pertamina yang tidak efektif dalam memonitor penyaluran subsidi BBM.[redaksi@logistiknews.id]

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *