LOGISTIKNEWS.ID – Untuk menjaga dwelling time di pelabuhan Tanjung Priok agar tidak lebih dari 3 hari, dukungan dari instansi dan stakeholders terhadap implementasi PM No.116 Tahun 2016 agar secara konsisten.
Hal tersebut dikemukakan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Tempat Penimbunan Sementara Indonesia (Aptesindo) HM Roy Rayadi, menanggapi terjadinya kenaikan dwelling time di pelabuhan Tanjung Priok akhir-akhir ini.
Dwelling time merupakan waktu yang dihitung mulai dari suatu peti kemas (kontainer) dibongkar muat dan diangkat (unloading) dari kapal sampai petikemas tersebut meninggalkan terminal melalui gate utama pelabuhan.
Berdasarkan informasi dashboard INSW, dwelling time di pelabuhan Tanjung Priok selama periode semester 1/2022 yakni pada Januari 2,76 hari, Februari 2,81 hari, Maret 2,68 hari, April 2,82 hari, kemudian pada Mei mencapai 3,95 hari sedangkan Juni 3,09 hari.
Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, dwelling time pelabuhan Tanjung Priok pada Januari 2021 tercatat 3,10 hari, Februari 2,55 hari , Maret 2,45 hari, April 2,49 hari, Mei 3,05 hari dan pada Juni 2,86 hari.
“Makanya sejak awal, perusahaan Tempat Penimbunan Sementara (TPS) lini 2 anggota Aptesindo yang notabene sebagai buffer terminal lini 1 di pelabuhan telah secara konsisten siap mendukung PM 116/2016. Kami juga mendukung Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok secara tegas dalam mengawal beleid itu untuk menekan dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok kurang dari 3 hari sebagaimana target Pemerintahan Presiden Joko Widodo,” ujar Roy Rayadi, kepada wartawan pada Rabu (6/7/2022).
Dia mengatakan, selama ini eksistensi TPS Lini 2 yang menjadi buffer terminal lini 1/pelabuhan Tanjung Priok telah memiliki kapasitas terpasang yang memadai guna menampung relokasi (pindah lokasi penumpukan) peti kemas yang telah melewati batas penumpukan sesuai beleid itu.
“Bahkan fasilitas TPS anggota kami juga telah dilengkapi dengan sistem IT yang terintegrasi dan peralatan yang memadai sama dengan din lini 1/terminal. Bahkan juga telah diterapkan autogate sistem di TPS lini 2 yang terkoneksi dengan sistem pengawasan kepabeanan dan cukai,” ucapnya.
Disisi lain, ujar Roy, bisnis utama terminal peti kemas adalah stevedoring atau bongkar muat, bukan mengandalkan pendapatan dari penumpukan/storage.
Adapun kegiatan relokasi peti kemas impor yang telah melewati batas waktu penumpukan dari terminal lini 1 ke TPS lini 2 masih relatif lebih efisien ketimbang jika barang impor tetap ditimbun di container yard terminal peti kemas atau lini 1 lantaran mesti terkena biaya storage progresif hingga 900%.
“Jadi intinya kalau PM 116/2016 itu dijalankan dengan baik dan didukung penuh oleh semua pengelola terminal peti kemas, kami meyakini dwelling time di pelabuhan Priok bisa lebih terjaga tidak lebih dari tiga hari ,” paparnya.
Roy mengungkapkan, efisiensi logistik ekosistem itu dihitung door to dorr dan aktivitas pelabuhan merupakan salah satu bagian dari ekisistem logistik itu.
“Coba kita lihat yang diluar pelabuhan, seperti kelancaran sisi transportasi daratnya atau trukckingnya, aktivitas di depo diluar pelabuhan juga perlu dibenahi jika ingin logistik nasional lebih efisien,” jelas Roy.
Oleh karena itu, imbuh Roy, perusahaan anggota Aptesindo mendukung sepenuhnya implementasi dan pengawasan PM 116/2016 oleh Kantor Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok.
Overbrengen
Roy Rayadi menegaskan, Asosiasi Pengusaha Tempat Penimbunan Sementara Indonesia (Aptesindo) merupakan wadah para pelaku usaha/perusahaan Tempat Penimbunan Sementara (TPS) lini 2 di wilayah Pabean Pelabuhan.
Fungsi TPS tersebut selama ini sebagai penopang atau backup area penumpukan peti kemas impor untuk menghindari kepadatan peti kemas dikawasan pabean lini satu pelabuhan serta menjaga kelancaran arus barang maupun dwelling time.
Sesuai dengan regulasi yang ada, bahwa terhadap peti kemas impor yang telah melampui masa penumpukan tiga hari di lini satu Pelabuhan (Terminal) namun belum selesai kepengurusan pabeannya harus di lakukan pindah lokasi penumpukan (PLP) atau overbrengen ke lokasi TPS.
Adapun biaya yang muncul dari kegiatan PLP itu telah sesuai aturan berlaku dan melalui kesepakatan antar asosiasi penyedia dan pengguna jasa di pelabuhan.
Pelabuhan Utama
Sebelumnya, Kantor Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok memastikan bahwa Peraturan Menteri (PM) No.116 Tahun 2016 tentang Pemindahan Barang Yang Melawati Batas Waktu Penumpukan, masih berlaku dalam rangka mempercepat masa inap barang atau dwelling time.
“PM No 16/2016 itu belum dicabut dan masih berlaku,” tegas Kepala OP Tanjung Priok, Capt Wisnu Handoko.
Beleid itu juga berlaku di empat pelabuhan utama, antara lain; Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, Tanjung Perak Surabaya, Belawan Medan, dan Pelabuhan Makassar.
Peraturan ini telah ditandatangani Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi pada 21 September 2016, juga telah didaftarkan dan diundangkan oleh Kemenkumham pada 22 September 2016.
Capt Wisnu menegaskan, dalam beleid itu, untuk menjamin kelancaran arus barang bahwa batas waktu penumpukan barang di terminal petikemas atau lini 1 pelabuhan paling lama tiga hari sejak barang ditumpuk di container yard.
Kemudian pada pasal (4) dalam beleid itu terhadap barang yang belum melewati batas waktu penumpukan namun Yard Occupancy Ratio (YOR) telah melampaui batas standarisasi utilisasi fasilitas sebesar 65%, maka Otoritas Pelabuhan memerintahkan kepada BUP selaku operator terminal peti kemas untuk memindahkan barang (relokasi) keluar lapangan lini 1 dan berkoordinasi dengan Bea dan Cukai.
Ditegaskan juga, bahwa lapangan penumpukan terminal lini 1 bukan merupakan tempat penimbunan barang tetapi sebagai area transit untuk menunggu pemuatan atau pengeluarannya.
Namun, sesuai ketentuan batas waktu penumpukan sebagaimana disebutkan dalam PM itu tidak berlaku terhadap tiga kondisi.
Pertama, barang yang wajib tindakan karantina dan telah diajukan permohonan karantina. Kedua, barang yang sudah maju pabean tetapi belum dapat surat persetujuan pengeluaran barang (SPPB). Ketiga, barang yang terkena nota hasil intelijen (NHI) atau nota informasi penindakan (NIP) yang dikeluarkan Bea dan Cukai.
PM No.116 Tahun 2016 juga menugaskan Kantor Otoritas Pelabuhan (OP) di empat pelabuhan utama tersebut melakukan koordinasi dengan instansi terkait demi kelancaran arus barang.(am)