GPEI dan Depalindo Audiensi dengan Satgas Pemberantasan Mafia Pelabuhan & Bandara di Gedung Bundar Kejagung, Ini yang Dibahas…

  • Share
Audiensi yang dilakukan di Kantor Kejaksaan Agung RI pada Rabu (4/10/2023)

LOGISTIKNEWS.ID – Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia /GPEI dan Dewan Pemakai Jasa Angkutan Laut Indonesia (Depalindo) beraudiensi dengan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Pelabuhan dan Bandar Udara (Bandara) guna memberikan masukan untuk mengefisiensikan biaya logistik nasional.

Audiensi yang dilakukan di Kantor Kejaksaan Agung RI pada Rabu (4/10/2023) itu sekaligus memetakan sejumlah masalah yang hingga kini masih dikeluhkan para pengusaha/eksportir, maupun pemilik barang.

Sekjen DPP GPEI yang sekaligus Ketua Umum Depalindo, Toto Dirgantoro mengatakan, dalam audiensi itu pihaknya juga membeberkan apa yang pernah di paparkannya saat Seminar Nasional dengan tema “Pencegahan Korupsi Dalam Tata Kelola & Pelayanan Ekspor Impor” yang digelar Satgas Pencegahan Korupsi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) pada pertengahan September lalu.

“Kami beraudiensi hari ini di gedung bundar dengan Satgas Pemberantasan Mafia Pelabuhan dan Bandara. Dan pihak Satgas menyambut positif atas informasi serta masukan-masukan yang disampaikan GPEI maupun Depalindo,” ujar Toto, pada Rabu malam (4/10/2023).

Baca Juga : Depalindo Ungkap Ini ‘Biang Kerok’ yang bikin Cost Logistik Mahal

Baca Juga : Buntut Laporan Depalindo, Ombudsman RI Minta Klarifikasi Pelindo & 2 Instansi

Dia mengatakan, prihal masih adanya praktik biaya tinggi di depo empty yang berada di luar pelabuhan, masih menjadi persoalan serius yang mesti dibenahi.

“Prihal praktik biaya tinggi di depo kontainer empty itu meskipun sudah di laporkan ke Ombudsman RI dan Kememhub namun hingga kini belum ada solusinya. Padahal banyak aduan yang kami terima soal ini dari para pelaku usaha termasuk di Jakarta, Sumatera Utara maupun Jawa Timur,” ucapnya.

Pasalnya, ungkap Toto, biaya lift on-lift off (Lo-Lo) di depo empty diluar pelabuhan masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan biaya di dalam pelabuhan. Bahkan kalau di rata-rata selisihnya bisa sampai Rp.400 ribu per kontainer berukuran twenty foot equvailent units (TEUs).

“Jika dari selisih yang ada Rp 400 ribu saja, dan kalau setahun ada 10 ribu TEUs, maka sudah sekitar Rp 4 Triliun pertahunnya uang pengusaha yang tertarik akibat high cost logistik akibat aturan pentarifan di depo empty belum jelas dan tidak terawasi,” papar Toto.

Terkait hal itu, ujarnya, Depalindo juga sudah bersurat ke Plt Gubernur DKI Jakarta dan berdasarkan informasi yang diterimanya telah di disposisikan ke Dinas Perhubungan DKI Jakarta.

“Tetapi karena praktik biaya tinggi seperti ini (di depo empty) berjalan terus maka kami beberkan pada Satgas Pemberantasan Mafia Pelabuhan dan Bandara di Kejaksaan Agung,” tegasnya.

Menurut Toto, kalangan dunia usaha saat ini masih mengalami berbagai problema karena tantangan perekonomian global yang belum sepenuhnya membaik akibat melemahnya perekomian di Amerika Serikat maupun Eropa, termasuk belum berakhirmya konflik Rusia-Ukraina. Adapun di dalam negeri, masih dipengaruhi  perang membanjirnya produk impor tertentu yang berpotensi mematikan industri/produk nasional.

“Karenanya, GPEI dan Depalindo sangat berharap dengan adanya audiensi ini maka Satgas Pemberantasan Mafia Pelabuhan dan Bandara dapat menindaklanjutinya,” ucap Toto.

Baca Juga : Audiensi dengan Ombudsman RI, Depalindo Sodorkan Laporan Anyar Terkait Layanan Publik Sektor Kepelabuhanan & Logistik

Sebelumnya, dalam Seminar Nasional dengan tema “Pencegahan Korupsi Dalam Tata Kelola & Pelayanan Ekspor Impor” di Lobby Gedung Tribrata, pada pertengahan September 2023, Toto Dirgantoro yang menjadi salah satu pembicara, mengungkapkan penyebab tingginya biaya logistik di sektor ekspor impor dan berpotensi praktik korup atau suap yakni; soal biaya di depo empty, permainan importir ‘nakal’, barang – barang dari Business to Business (B2B) menjadi Business to Customer (B2C), serta praktik pungutan Liar.

Depo peti kemas kosong (empty) merupakan sebuah perusahaan yang bergerak dibidang jasa penitipan peti kemas kosong yang di mana kegiatannya adalah lift on dan lift off (LoLo) empty container (muat dan bongkar peti kemas kosong).

Namun, imbuhnya, fakta di lapangannya, bahwa biaya LoLo di depo empty container justru bisa melebihi biaya LoLo di dalam Pelabuhan (diantara Rp 600.000 – 800.000).

Hal itu terjadi, kata Toto, lantaran tidak ada pengawasan dalam kinerja depo empty Container.  Selain itu, ketidakjelasan status depo empty container yaitu tempat penyimpanan container yang merupakan inventori pelayaran, tetapi izin nya dikeluarkan oleh Dinas Perhuhungan (Pemprov) sedangkan Pelayaran dibawah Kementerian Perhubungan.

“Akibatnya tidak ada yang melakukan pengawasan kinerja dan tarifnya, bahkan ironis-nya masih ada depo empty yang belum memiliki izin dan amdalalin-nya,” ucap Toto.

Imbas tidak adanya pengaturan komponen tarif dan pengawasan di depo empty oleh para pihak terkait itu maka seluruh biaya dibebankan kepada pengguna jasa.

Dalam kaitan ini, GPEI juga mengungkap ada refund ke Principle dalam praktik usaha di depo empti. “Jika ada selisih LoLo 300.000/box dengan jumlah ekspor impor 10 juta box/tahun maka kerugian dunia usaha eksportir dan importir mencapai Rp 3 Triliun,” tegasnya.

Praktik Pungli

Masalah lainnya, kata Toto, masih terdapat fenomena bahwa ada penawaran dari perusahan perusahaan jasa importasi yang lebih dikenal di kalangan umum sebagai Import “borongan’ yang mengakibatkan maraknya barang dipasaran yang menggangu ekonomi nasional dan khususnya Industri lokal.

“Hal ini bisa terlihat dimana saat ini banyaknya produk import dengan harga murah,” papar Toto.

Toto juga mensinyalir praktik importasi maupun eksportasi ‘nakal’ biasanya dilakukan dengan memanfaatkan fasilitas kemudahan yang diberikan.

Karenanya, dia mengusulkan pemasangan alat pemindai petikemas atau HiCo-Scan di setiap Terminal saat masuk maupun keluar (in dan out).

Baca Juga : GPEI Beberkan Fakta untuk Cegah Korupsi dalam Tata Kelola & Layanan Ekspor Impor

Toto juga menegaskan soal maraknya barang B to B menjadi B to C (B2B menjadi B2C) yang menganggu produksi dalam negeri karena Industri dalam negeri mengecil dan menengah akan kalah dengan barang borongan impor seperti dari China & Korea yang murah dan bisa langsung di arahkan ke Konsumen.

Barang impor marak dengan harga murah mayoritas dari online seperti Kosmetik dan lainnya yang bisa berakibat fatal bagi konsumen. “Barang impor yang murah ini penuh tanda tanya mengapa bisa barang impor jauh lebih murah dari barang dalam negeri ? dapat diduga ada manipulasi dokumen jika ini dibiarkan Industri dalam negeri akan mati,” tuturnya.

Toto juga menyoroti soal fenomena pungutan liar atau pungutan tanpa dasar hukum dimana masih terjadi pungutan yang ditarik oleh agen forwarding pelayaran, tetapi jika tidak diikuti mereka dapat menahan barang.

Contohnya, Sucharge, Seal Fee dan lainya ada juga LCL biaya CFS nya 450rb / Kubik tetapi realita nya tidak seperti itu. Untuk Terhadap praktik pungutan tanpa dasar ini perlu ada pengawasan dan tindakan tegas.

“Disisi lain, kita mengetahui bahwa fasilitas container freight station atau CFS Center di pelabuhan tidak berjalan sesuai yang diharapakan tetapi hanya sebagai Billing Center dimana di dalam billing untuk receiving, deliveri dan mekanik atau RDM tercetak Rp 90.000 / kubik realisasi nya hanya Rp 50.000/ kubik,” ungkap Toto.[redaksi@logistiknews.id]

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *