Refleksi Akhir Tahun GINSI: Menanti Kepedulian Pemerintah Agar Importir Umum tak ‘Mati Suri’

  • Share
Ketua Umum BPP GINSI, Capt Subandi.

LOGISTIKNEWS.ID – Kondisi ekonomi global saat ini sedang alami turbulensi, bahkan masih terus dibayangi berbagai risiko dan ketidakpastian.

Mulai dari risiko pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang melemah, harga komoditas yang volatile, geopolitik perang Ukraina-Rusia dan konflik Palestina-Israel, hingga pada ancaman El Nino dan perubahan iklim, risiko debt-distress, kontraksi PMI Manufaktur global, serta meningkatnya harga minyak dunia.

Lalu bagaimana dengan kondisi makro di Indonesia ?

Menurut Ketua Umum BPP Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Capt Subandi, kondisi perekonomian nasional saat ini-pun sedang ‘tidak baik-baik saja‘, bahkan cenderung lesu.

Indikatornya, kata Capt Subandi, daya beli masyarakat yang cenderung melemah, potensi banyaknya perusahaan yang gulung tikar hingga ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) secara masif lantaran tidak adanya keberpihakan regulasi Pemerintah terhadap kelangsungan industri dan dunia usaha nasional, termasuk perusahaan importir.

Bahkan, sepanjang tahun 2023, GINSI menilai merupakan tahun yang ‘suram‘ bagi sebagian perusahaan importir, khususnya para importir pemilik Angka Pengenal Importir Umum (API-U).

Pasalnya, sejak pertengahan Desember 2022, perusahaan importir umum tersebut tidak dapat lagi melakukan aktifitas sebagaimana biasanya pasca terbitnya PP.28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian.

Beleid itu meliputi penetapan neraca komoditas, pengaturan, jangka waktu dan impor bahan baku dan atau bahan penolong oleh pelaku usaha yang memiliki NIB sebagai API-P dan API-U.

“Soalnya, pada pasal 19 ayat (1) beleid itu yang juga merupakan turunan dari UU Ciptaker, dimana impor bahan baku dan bahan penolong hanya bisa di impor oleh perusahaan importir pemilik angka pengenal Impor Produsen atau API-P, akibatnya para perusahaan importir umum (API-U) tidak bisa melakukan aktifitas, dan banyak yang mati suri,” jelas Capt Bandi, pada Sabtu (9/12/2023).

Dia mengungkapkan, multiplier efek atas implementasi beleid itu (PP 28/2021) meluas, dan sangat memukul para perusahaan importir API-U sehingga terpaksa mengistirahatkan sementara karyawan (proses PHK) akibat perusahaan importir tersebut kehilangan income, dan bahkan ada yang tutup karena tidak mampu menanggung beban biaya karyawan, sewa kantor dan sebagainya.

Imbas lainnya juga merembet ke kalangan Industri manufaktur dan tambang lantaran mengalami masalah karena menipisnya stok bahan baku yang selama ini di supply oleh Importir Umum.

Termasuk juga kondisi yang dialami para pengelola pelabuhan di Indonesia yang mengalami kekurangan (shortage) komponen peralatan bongkar muat dan peralatan handling cargo lainnya seperti wire sling, turnbuckle, hook dan lainnya yang selama ini dipasok oleh para perusahaan importir umum.

Bukan cuma itu, ada ribuan perusahaan yang juga terdampak akibat diberlakukanya PP 28 tahun 2021 itu. Bahkan, negara juga berpotensi kehilangan pendapatan yang berasal dari pajak atas barang yang di impor, termasuk pajak perusahaan dan pajak pribadi.

Ancaman PHK

GINSI, memproyeksi hampir 23 ribuan karyawan kehilangan penghasilan dan pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat diterapkannya PP 28/2021 itu.

“Meskipun angka tersebut relatif sedikit dibanding jumlah penduduk Indonesia, namun Pemerintah semestinya tetap memberikan perhatian terhadap nasib mereka beserta keluarganya,” ucap Capt Subandi.

Berbagai upaya untuk meyakinkan Pemerintah supaya beleid tersebut di revisi telah dilakukan oleh GINSI selaku wadah para importir nasional itu, namun mengalami hambatan dan kesulitan yang cukup kompleks.

“GINSI sudah berupaya sekuat tenaga menjembatani persoalan ini agar sebelum Lebaran/Idul Fitri tahun 2023 lalu, para Importir Umum (API-U) ini bisa kembali menjalankan aktifitas usahanya sehingga bisa menggaji dan memberi THR kepada karyawanya, pun mengalami kesulitan,” papar Ketum GINSI.

Capt Subandi mengaku tak habis fikir, mengapa sepertinya semua akses untuk melakukan negosiasi untuk merevisi beleid tersebut ‘seolah-olah’ tertutup, meskipun secara organisasi, GINSI pun sudah menyurati hingga ke Kantor Sekretariat Negara ketika itu.

Kesempatan dialog dengan Sesmenko Perekonomian RI juga sudah dilakukan, bahkan GINSI telah memberikan usulan tertulis terkait revisi Pasal 19 ayat (1) pada beleid itu yang menjadi ‘biang’ permasalahan.

“Lagi- lagi kami hanya memperoleh informasi bahwa Pemerintah melalui Kementrian terkait hanya meyampaikan bahwa beleid itu sedang di revisi. Barulah di bulan Oktober 2023 muncul PP.46 Tahun 2023 yang merupakan revisi dari PP.28 Tahun 2021, tetapi hingga saat ini aturan tekhnisnya-pun belum juga turun,” sergah Subandi.

Peran Kemenperin

GINSI berharap, semestinya Kementerian Perindustrian (Kemenperin) sebagai Pembina dan pelindung industri dalam negeri mau memberikan perlindungan dan dukungan pada setiap upaya pelaku usaha dan industri yang mengalami permasalahan dalam memperjuangkan nasibnya.

Melihat fenomena ini, wajar jika para perusahaan importir anggota GINSI mempertanyakan bagaimana keberpihakan para pejabat dan pembuat kebijakan di Republik ini terhadap kelangsungan para pelaku usaha nasionalnya, termasuk importir umum.

“Soalnya, hingga menjelang akhir tahun 2023 ini, belum ada tanda-tanda peraturan tekhnisnya dari PP 46/2023 itu juga selesai di buat apalagi di implementasikan,” ungkap Capt Subandi.

Ditengah kondisi ketidakpastian regulasi bagi para importir umum (API-U) itu, kini para importir juga dibayangi melemahnya mata uang Rupiah atas mata uang dollar AS, Sin$, Yuan dan lainnya. Situasi ini juga membuat para importir tidak happy, karena memukul dan menggerus keuntungan para pelaku importasi sepanjang tahun 2023 ini.

Sementara pada tahun 2024 Indonesia akan menyelenggarakan pesta demokrasi pemilihan umum (Pemilu), dimana situasi perpolitikan nasional juga semakin dinamis.

Ditengah turbulensi ekonomi dan geopolitik global sepanjang 2023 ini, serta jelang hajat perpolitikan nasional (Pemilu) tahun depan, kalangan pelaku usaha kini lebih cenderung wait and see, bahkan ada juga yang ‘harap-harap cemas’ menyongsong 2024.

Karenanya, GINSI akan terus mengingatkan komitmen Pemerintah dalam upaya mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional di 2024 dan tahun-tahun mendatang.

“Termasuk bagaimana keberpihakan pada Importir Umum (API-U) agar tidak ‘mati suri ‘ yang notabene selama ini juga turut sumbagsih pada perekonomian nasional dan kemajuan industri dalam negeri,” ucap Capt Subandi.[redaksi@logistiknews.id]

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *