LOGISTIKNEWS.ID – Gabungan importir nasional seluruh Indonesia (GINSI) menyoroti prihal biaya logistik di Indonesia yang diklaim telah mengalami penurunan dan dianggap lebih efisien saat ini.
Pasalnya, pelaku importasi justru merasakan biaya-biaya tersebut cenderung alami kenaikan bahkan tidak terkontrol terutama biaya di luar pelabuhan yang berkaitan dengan cost di keagenan kapal dan depo petikemas kosong (empty) eks impor.
“Berbicara terkait biaya logistik di Indonesia yang katanya sudah turun bagaimana kajianya secara detil dan transparan dimana penurunannya ?. Hal ini mengingat biaya yang ada sekarang justru cenderung naik dan bahkan tidak terkontrol terutama biaya di luar pelabuhan,” ujar Ketua Umum BPP GINSI, Capt Subandi, kepada Logistiknews.id pada Rabu (11/10/2023).
Baca Juga : Ramai-ramai Menyoal Parameter Score LPI Indonesia oleh World Bank
Baca Juga : Kiat Dongkrak LPI, Belajarlah dari India
Dia mengungkapkan, GINSI memiliki bukti bahwa biaya di luar pelabuhan sangat tinggi dan belum ada yang membenahi dan menertibkannya. Bahkan jika ingin di kaji serta analisa lagi, imbuhnya, masih banyak terdapat komponen biaya-biaya yang tidak ada layananya serta juga biaya yang semestinya tidak semahal itu di keagenan kapal dan depo empty.
“Makanya, saya tidak percaya jika ada yang bilang biaya logistik indonesia yang tadinya 27% bisa turun ke 23% dan bahkan sekarang dikatakan telah mencapai dikisaran 14%. Dari mana metodologi menghitungnya ?, karena fakta dilapangan biaya logistik justru masih tinggi,” tegas Subandi.
Dia mengatakan, program National Logistik Ecosistem (NLE) terkait layanan delivery order atau DO-online, juga belum memberikan manfaat pada efisiensi waktu maupun biaya. Pasalnya importir dan atau kuasanya tidak bisa langsung membawa DO itu saat menyerahkan Bill of Loading (BL) asli ke agen pelayaran. Karena, selain menyerahkan BL asli juga melunasi biaya yang dibebankan pada importir.
Baca Juga : LPI Indonesia Anjlok, Penerapan NLE Jadi Solusi
“DO-nya saja yang dikirim secara online (via email) dan atau di kirim ke terminal. Jika demikian dimana online nya ?. Bahkan tidak jarang sistem di agen kapal asing itu juga mengalami kendala sehingga DO-nya belum bisa terkirim. Justru yang repot jika sistemnya tidak berfungsi atau mengalami trouble dihari Jum’at sore, karena agen kapal di hari sabtu dan minggu libur. Dan bisa-bisa DO-nya baru bisa terkirim di hari Senin-nya,” ucap Subandi.
Dia mengatakan, hingga kini penyerahan fisik BL asli masih harus di lakukan secara tatap muka dengan hadirnya pemilik barang atau kuasanya.
“Jika demikian maka tidak tepat jika NLE bisa menurunkan dwelling time atau terciptanya layanan sektor logistik lebih efisien. Dari mana ukurannya mengklaim seperti itu ?,” tanya Capt Subandi.
Tekan Dwelling Time
Sebelumnya, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, mencatat, dwelling time per Agustus 2023 di pelabuhan rata-rata kini hanya 2,52 hari, atau lebih cepat dari target pemerintah sebesar 2,9 hari.
Capaian itu berkat implementasi National Logistik Ekosistem (NLE) yang telah membuat layanan logistik di pelabuhan dan bandar udara (bandara), kini semakin efisien.
Baca Juga : Mengintip Metode Survei LPI yang Kini Tuai Polemik dan Bikin Luhut Geram
Berdasarkan data dashboard dwelling time INSW, adapun rerata dwelling time pada Agustus 2023 di pelabuhan Tanjung Priok Jakarta 2,48 hari, Pelabuhan Belawan Sumut 2,63 hari, Tanjung Emas Semarang dan Tanjung Perak Surabaya 2,72 hari, serta Pelabuhan Makassar 2,20 hari.
Dwelling time merupakan periode waktu yang dihitung mulai pembongkaran dan pengangkatan peti kemas (kontainer) dari kapal hingga peti kemas tersebut meninggalkan terminal pelabuhan melalui pintu utama.
“Capaian ini melampaui target kita yang sebesar 2,9 hari dan hanya sedikit di bawah Singapura untuk kawasan Asia,” ujar Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso dalam acara Peningkatan Kinerja Logistik melalui Utilisasi Layanan National Logistic Ecosystem (NLE), di Jakarta, pada Selasa (10/10/2023).
Selain waktu bongkar muat yang semakin singkat, Susiwijono juga mengklaim bahwa biaya logistik nasional telah mencapai di bawah 15% dari produk domestik bruto (PDB), yakni hanya sebesar 14,29% pada 2022. Perhitungan biaya ini dilakukan antara Kemenko Perekonomian dengan Bappenas dan badan pusat statistik/BPS.
Baca Juga : Menanti Transformasi Bisnis di Luar Pelabuhan demi Pangkas Biaya Logistik
Susiwijono optimistis, hingga 2045 biaya logistik di Indonesia akan semakin turun ke depan hingga mencapai tersisa 8% dari PDB. Didukung oleh semakin efektif dan efisiennya pembangunan infrastruktur yang menunjang arus transportasi logistik.
“Namun perlu juga diakui bahwa utilisasi Infrastruktur logistik Indonesia terutama di pelabuhan memang masih terjadi ketimpangan antar daerah di Indonesia, khususnya di Indonesia Timur yang masih di bawah 50%,” ucapnya.
Berdasarkan kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), biaya logistik di Indonesia pada 2022 mencapai 14,2 persen. Sedangkan biaya logistik untuk kegiatan ekspor mencapai 8,98 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Angka itu mengalami penurunan signifikan dari sebelumnya lantaran Bank Dunia atau World Bank pernah mencatat bahwa biaya logistik di Indonesia mencapai 23,8 persen pada tahun 2018.[redaksi@logistiknews.id]