LOGISTIKNEWS.ID – Ratusan karyawan swasta di kawasan pelabuhan Tanjung Priok yang bergerak di sektor usaha tempat penimbunan sementara peti kemas (TPS), terancam terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Kondisi itu, disebut-sebut lantaran tidak optimalnya implementasi dan pengawasan atas regulasi yang sudah diamanatkan melalui Peraturan Menteri Perhubungan (PM) No: 116 Tahun 2016 tentang Pemindahan Barang yang Melewati Batas Waktu Penumpukan.
Padahal kehadiran beleid itu yakni untuk menjaga dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok tetap konsisten agar tidak lebih dari tiga hari.
Beleid itu juga berlaku di empat pelabuhan utama, antara lain Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, Tanjung Perak Surabaya, Belawan Medan, dan Pelabuhan Makassar.
Peraturan ini telah ditandatangani Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi pada 21 September 2016, serta juga telah didaftarkan dan diundangkan oleh Kemenkumham pada 22 September 2016.
Dwelling time merupakan waktu yang dihitung mulai dari suatu peti kemas (kontainer) dibongkar muat dan diangkat (unloading) dari kapal sampai peti kemas tersebut meninggalkan terminal melalui gate pelabuhan.
Selama ini peran TPS berkontribusi dalam penurunan dwelling time dan kelancaran arus barang di pelabuhan Tanjung Priok.
Sumber logistiknews.id, di salah satu perusahaan TPS di pelabuhan Priok menyebutkan, kini terdapat 11 perusahaan TPS yang menjadi buffer kawasan pabean pelabuhan Tanjung Priok, yang mengantongi perizinan operasional dari Kementerian Keuangan. Jika masing-masing TPS itu diasumsikan mempekerjakan 50-100 pekerja, setidaknya ada 500-an lebih pekerja yang menggantungkan hidupnya dari sektor usaha itu.
Namun kini, ujar sumber itu, meskipun barang impor sudah lebih dari tiga hari menimbun di terminal peti kemas, tidak langsung di relokasi ke TPS lantaran kegiatan relokasi peti kemas kini cenderung mengacu pada tingkat yard occupancy ratio (YOR) 65 % di terminal peti kemas atau terminal asal.
Akibatnya, sekarang ini kondisi lapangan TPS yang notabene menjadi buffer pelabuhan Tanjung Priok ‘kosong melompong‘ lantaran jarang ada peti kemas yang direlokasi. Disisi lain, pemilik barang impor khususnya kini juga sudah lebih proaktif dan cepat dalam kepengurusan pengeluaran barangnya dari pelabuhan Tanjung Priok.
Multiplier efeknya, produktivitas fasilitas TPS terus merosot padahal para Pengusaha TPS di Pelabuhan Priok itu mengklaim telah melakukan berbagai investasi peralatan maupun kontrak sewa lahan.
Pilihan PHK di perusahaan TPS sebenarnya sudah terjadi secara bertahap sejak tahun 2022 lalu dan hingga kini PHK secara bertahap disektor usaha itu terus berlanjut. Bahkan jika dibiarkan hingga akhir tahun ini, ratusan karyawan berpotensi akan terkena PHK masal.
Hal ini sangat kontradiktif dengan upaya Pemerintah sebagaimana yang kerap di canangkan Pemerintahan Presiden Joko Widodo yang komitmen dalam mendorong memperluas atau menciptakan lapangan kerja di dalam negeri.
Para pelaku TPS beranggapan, padahal jika Peraturan Menteri Perhubungan No:116/2016 itu dijalankan secara baik dan konsekwen, maka PHK massal sebagaimana yang dikhawatirkan itu tidak perlu terjadi.
Apalagi, sejak awal, perusahaan tempat penimbunan sementara (TPS) lini 2 yang notabene sebagai buffer terminal lini 1 di pelabuhan telah secara konsisten siap mendukung PM 116/2016. Selain itu mendukung Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok bisa secara tegas dalam mengawal beleid itu.
Selama ini eksistensi TPS Lini 2 yang menjadi buffer terminal lini 1/Pelabuhan Tanjung Priok telah memiliki kapasitas terpasang memadai guna menampung relokasi (pindah lokasi penumpukan) peti kemas yang telah melewati batas penumpukan sesuai beleid itu.
Bahkan fasilitas TPS juga telah dilengkapi dengan sistem IT yang terintegrasi dan peralatan yang memadai sama dengan di lini 1/terminal. Juga telah diterapkan autogate sistem di TPS lini 2 yang terkoneksi dengan sistem pengawasan kepabeanan dan cukai.
Disisi lain, bisnis utama terminal peti kemas adalah stevedoring atau bongkar muat, bukan mengandalkan pendapatan dari penumpukan/storage. Sehingga kegiatan relokasi peti kemas impor yang telah melewati batas waktu penumpukan dari terminal lini 1 ke TPS lini 2 masih relatif lebih efisien ketimbang jika barang impor tetap ditimbun di container yard terminal peti kemas atau lini 1 lantaran mesti terkena biaya storage progresif hingga 600%.
Sesuai dengan regulasi yang ada, bahwa terhadap peti kemas impor yang telah melampui masa penumpukan tiga hari di lini satu pelabuhan (terminal) namun belum selesai kepengurusan pabeannya harus dilakukan pindah lokasi penumpukan (PLP) atau overbrengen ke lokasi TPS.
Adapun biaya yang muncul dari kegiatan PLP itu telah sesuai aturan berlaku dan melalui kesepakatan antar asosiasi penyedia dan pengguna jasa di pelabuhan.
Namun, sesuai ketentuan batas waktu penumpukan sebagaimana disebutkan dalam PM itu tidak berlaku terhadap tiga kondisi.
Pertama, barang yang wajib tindakan karantina dan telah diajukan permohonan karantina. Kedua, barang yang sudah maju pabean tetapi belum dapat surat persetujuan pengeluaran barang (SPPB). Ketiga, barang yang terkena nota hasil intelijen (NHI) atau nota informasi penindakan (NIP) yang dikeluarkan Bea dan Cukai.
PM No.116 Tahun 2016 juga menugaskan Kantor Otoritas Pelabuhan (OP) di empat pelabuhan utama tersebut melakukan koordinasi dengan instansi terkait demi kelancaran arus barang.
Wakil Ketua Umum Bidang Transportasi, Logistik dan Kepelabuhanan Kadin DKI Jakarta, Widijanto mengaku prihatin dengan kondisi tersebut, apalagi jika berimbas pada potensi PHK massal para pekerja swasta yang selama ini menggantungkan nasibnya dari aktivitas di pelabuhan tersibuk di Indonesia itu.
“Semoga saja PHK massal yang dikhawatirkan itu tidak terjadi, makanya perlu duduk bersama mencari solusi masalah tersebut dengan kepala dingin,” ucap Widijanto▪︎ [redaksi@logistiknews.id]